Jakarta, VIVA – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, perusahaan-perusahaan besar di dunia kini menghadapi tantangan dan peluang yang datang dari kecerdasan buatan (AI). Amazon, sebagai raksasa teknologi global, menjadi salah satu pelaku utama dalam transisi ini.
Namun di balik kemajuan tersebut, bayang-bayang pemutusan hubungan kerja (PHK) semakin nyata bagi para pekerja. Baru-baru ini, Amazon kembali memangkas ratusan karyawan di divisi Amazon Web Services (AWS).
Langkah ini menandai babak baru dalam strategi efisiensi perusahaan, sekaligus menjadi sinyal bahwa investasi AI membawa konsekuensi besar bagi tenaga kerja.
PHK massal di AWS dilakukan hanya sebulan setelah CEO Amazon, Andy Jassy, memberi sinyal kemungkinan adanya pengurangan karyawan. Dalam pernyataannya sebelumnya, Jassy menyebut bahwa investasi besar dalam alat AI generatif kemungkinan besar akan mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia.
Kini, kabar tersebut menjadi kenyataan. Sumber-sumber internal mengonfirmasi bahwa pemangkasan telah dimulai dan memengaruhi ratusan posisi di divisi cloud computing Amazon.
PHK ini bukan hanya soal penghematan biaya operasional. Menurut sumber yang dekat dengan internal perusahaan, langkah Amazon merupakan bagian dari ambisi jangka panjang untuk mengotomatisasi sebagian besar pekerjaan, sehingga sumber daya manusia dapat dialihkan ke investasi yang lebih berorientasi pada pertumbuhan.
Meski begitu, tidak semua pihak percaya bahwa keputusan ini murni karena AI. Beberapa menyebutkan bahwa restrukturisasi bisnis secara umum juga menjadi faktor pendorong.
"Setelah meninjau organisasi kami secara menyeluruh, prioritas kami, dan apa yang perlu kami fokuskan ke depan, kami membuat keputusan bisnis yang sulit untuk mengeliminasi beberapa peran di tim tertentu dalam AWS," Demikian pernyataan resmi juru bicara Amazon kepada Business Insider, seperti dikutip dari The HR Digest, Minggu, 20 Juli 2025.
Sumber internal menyebut bahwa “spesialis” yang bekerja langsung dengan pelanggan dalam menciptakan dan menyempurnakan produk menjadi salah satu kelompok yang terdampak. Jika benar jumlah karyawan yang terkena PHK mencapai ribuan, maka kemungkinan besar divisi lain dalam AWS juga terdampak.
Jassy sebelumnya telah mengirimkan pemberitahuan internal yang menyebutkan bahwa, dengan meningkatnya investasi di bidang AI, beberapa pekerjaan akan berkurang, sementara pekerjaan baru akan tercipta. Hal ini tampaknya menjadi skenario yang tengah dijalankan Amazon.
Meski melakukan PHK, perusahaan tetap membuka lowongan untuk sejumlah posisi lain di berbagai divisi. Sepanjang 2025, Amazon telah melakukan serangkaian PHK di berbagai lini bisnisnya.
Bulan lalu, divisi Buku termasuk Goodreads dan Kindle juga mengalami pemangkasan, meski dalam skala kecil. Sebelumnya, pada bulan Maret, Amazon menyasar posisi manajerial sebagai bagian dari inisiatif untuk merampingkan struktur perusahaan dan menghapus lapisan birokrasi yang dianggap menghambat efisiensi.
Sejak awal berdirinya, Amazon memang dikenal sebagai perusahaan yang sangat mengandalkan otomatisasi dan teknologi. Meskipun mempekerjakan salah satu jumlah tenaga kerja terbesar di dunia, Amazon terus memimpin dalam integrasi teknologi, terutama di gudang-gudangnya yang serba otomatis.
Tahun 2025 memperlihatkan ambisi ini secara lebih nyata, tidak hanya melalui produk seperti Alexa, tapi juga lewat kebijakan sumber daya manusia, termasuk PHK di AWS.
Meski menegaskan bahwa PHK kali ini tidak sepenuhnya dipicu oleh AI, arah kebijakan Amazon menunjukkan bahwa teknologi cerdas semakin menjadi fondasi utama strategi bisnis. Perusahaan juga mengklaim akan memberikan dukungan kepada karyawan yang terdampak, termasuk gaji dan tunjangan selama 60 hari, perlindungan kesehatan, bantuan penempatan kerja, dan peluang untuk mengisi posisi internal lainnya.
Namun di balik itu semua, ketidakpastian masih membayangi masa depan dunia kerja. PHK berbasis otomatisasi bukan hanya terjadi di Amazon, tetapi juga di perusahaan teknologi besar lain seperti Google dan Microsoft.
Halaman Selanjutnya
Meski begitu, tidak semua pihak percaya bahwa keputusan ini murni karena AI. Beberapa menyebutkan bahwa restrukturisasi bisnis secara umum juga menjadi faktor pendorong.