Jakarta, VIVA – Kasus penculikan anak Bernama Bilqis ramai menjadi sorotan pengguna media sosial. Bilqis diketahui diculik pada Minggu 2 November 2025 di Taman Pakui, Jalan Andi Pangeran Pettarani Makassar. Berdasarkan rekaman CCTV, pelaku sempat membawa Bilqis bersama dengan dua anak kecil.
Hasil penyelidikan awal, tim Polrestabes Makassar mengamankan SY sebagai pelaku utama. Selanjutnya membawa anak korban ke tempat kejadian perkara (TKP) kosnya di Jalan Abu Bakar Lambogo. Kemudian menawarkan anak korban melalui media sosial dengan akun 'Hiromani Rahim Bismillah'
Dari tawaran yang dilempar di akun medsos Facebook itu, ada yang berminat, pembelinya atas nama NH. Hasil pengakuannya, dari Jakarta datang ke Makassar untuk membawa korban dengan transaksi sebesar Rp3 juta di kos pelaku SY.
Korban kemudian dibawa NH ke Jambi namun sempat transit di Jakarta dan menjual Bilqis kepada AS dan MA sebesar Rp 15 juta dengan dalil tak memiliki keturunan selama 9 tahun lamanya. Namun AS dan MA kemudian menjual kembali kepada kelompok salah satu suku anak dalam di Jambi seharga Rp80 juta.
Kasus penculikan yang menimpa Bilqis ini menjadi perhatian hangat publik terutama orang tua yang takut anaknya juga menjadi korban seperti Bilqis. Seperti diketahui, menjadi korban penculikan bisa memunculkan trauma yang mendalam bagi anak.
Lantas bagaimana agar insiden penculikan tidak menimpa anak-anak lainnya di Indonesia? Dan bagaimana orang tua dalam melindungi anak mereka dari korban penculikan? Melansir situs resmi UGM, psikolog UGM, Edilburga Wulan Saptandari, M.Psi, Ph.D, mengungkap penculikan bisa menjadi pengalaman traumatis bagi anak. Sebab penculikan merupakan pengalaman tidak menyenangkan yang bisa memunculkan perasaan tidak nyaman, syok, cemas tidak berdaya bahkan depresi.
Dalam mencegah anak menjadi korban penculikan, Edilburga memberikan tips salah satunya terkait dengan edukasi. Disebut Edilburga, penting bagi orang tua untuk membekali anak dengan pengetahuian bagaimana saat berhadapan dengan orang asing.
”Anak diberikan pemahaman untuk tidak sembarangan berbicara, tidak mudah percaya, tidak mudah terbujuk dengan iming-iming pemberian orang lain, serta bisa menolak ajakanorang yang tidak dikenal,” kata dia.
Halaman Selanjutnya
Selain itu, orang tua kata Edilburga juga perlu mengajari anak soal mekanisme melindungi diri sendiri. Salah satu contohnya dengan belajar bela diri. Anak juga kata Edilburga juga patut diberi pemahaman jika berhadapan dengan orang asing yang mencurigakan atau terpisah dengan orang tua untuk berteriak meminta tolong hingga mencari bantuan ke orang yang tepat seperti satpan yang besar kemungkinannya memberikan bantuan.

3 weeks ago
10









