Dari Sungai hingga Laut, Dampak Polusi Plastik pada Ekosistem Perairan

3 hours ago 2

Jakarta, VIVA – Polusi plastik telah menjadi salah satu masalah lingkungan paling mendesak di dunia saat ini. Dampaknya dirasakan tidak hanya di ekosistem darat, tetapi juga di perairan, mencemari sungai, danau, hingga lautan. Data dari United Nations Environment Programme (UNEP) mengungkapkan bahwa setiap hari, sekitar 2 ribu truk sampah plastik dibuang ke ekosistem perairan. Hal ini menyebabkan 19-23 juta ton sampah plastik mencemari lingkungan per tahunnya.

Di Indonesia, polusi plastik telah mencapai titik kritis, menuntut aksi kolektif dari berbagai pihak untuk mengatasinya. Scroll lebih lanjut.

Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi plastik tinggi. Pada 2021, Kementerian Perindustrian mencatat penggunaan bahan baku plastik mencapai 7.965 metrik ton, sementara tingkat daur ulang pada 2022 hanya sekitar 12%. Kondisi ini diperburuk oleh pola pikir masyarakat yang masih mengandalkan pendekatan "kumpul-angkut-buang." Akibatnya, 76,6% sampah di Indonesia berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), dengan lebih dari separuhnya masih berupa TPA terbuka. 

Selain itu, peningkatan penggunaan plastik dalam beberapa tahun terakhir semakin menambah beban. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) melaporkan bahwa proporsi plastik dalam komposisi sampah meningkat dari 16,74% pada 2019 menjadi 19,59% pada 2023. Jika tidak ada langkah konkret untuk menangani masalah ini, BAPPENAS memperingatkan bahwa daya tampung seluruh TPA di Indonesia akan mencapai batas maksimalnya pada 2028, atau bahkan lebih cepat.

Melihat urgensi ini, berbagai pelaku usaha di Indonesia menyatakan dukungannya kepada pemerintah untuk aktif terlibat dalam Perjanjian Plastik Global (Global Plastics Treaty) PBB. Perjanjian ini diharapkan dapat menjadi solusi strategis untuk menangani polusi plastik melalui pendekatan yang mengikat secara hukum dan mencakup seluruh siklus hidup plastik.

Business Coalition for A Global Plastic Treaty (BCGPT) menyebut Perjanjian Plastik Global sebagai peluang terbaik untuk menyelesaikan krisis ini. Hal tersebut disampaikan dalam siaran pers BCGPT menjelang sesi ke-5 Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5) yang akan berlangsung di Busan, Korea Selatan, pada 25 November hingga 1 Desember 2024. 

Nurdiana Darus, Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, menegaskan bahwa solusi global harus lebih dari sekadar upaya sukarela. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur restriksi produksi plastik dan memperluas tanggung jawab produsen melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR).

"Kita harus melangkah lebih dari sekedar upaya sukarela karena selama ini upaya-upaya tersebut belum menyelesaikan masalah," katanya.

Sampah plastik di Bali.

Photo :

  • Dokumentasi Sungai Watch.

Lucia Karina, Direktur Public Affairs, Communication and Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia), menyoroti perlunya pendekatan holistik dan kolaborasi multipihak dalam menyelesaikan masalah plastik. 

"Agar upaya mengatasi masalah plastik efektif, dibutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk pelaku usaha, pemerintah, akademisi, pemuka agama, pemuka masyarakat, media, dan masyarakat, atau dikenal dengan konsep kolaborasi Nona Helix," ujarnya.

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menangani masalah ini melalui berbagai kebijakan. Target pengurangan sampah laut hingga 30% dan sampah plastik laut hingga 70% pada 2025 menjadi salah satu upaya yang paling ambisius. Hingga akhir 2023, pengurangan kebocoran sampah plastik ke laut mencapai 41,68%, atau sekitar 359.061 ton, turun dari 651.675 ton pada 2018.

Untuk mendukung proses ini, pemerintah telah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak untuk menyusun naskah Perjanjian Plastik Global. Naskah ini akan menjadi bahan diplomasi delegasi Indonesia dalam forum INC-5, yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Luar Negeri, serta Tim Koordinasi Nasional Penanggulangan Sampah Laut (TKNPSL).

Halaman Selanjutnya

Nurdiana Darus, Director of Sustainability and Corporate Affairs Unilever Indonesia, menegaskan bahwa solusi global harus lebih dari sekadar upaya sukarela. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang mengatur restriksi produksi plastik dan memperluas tanggung jawab produsen melalui mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR).

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |