Jakarta, VIVA – Salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto di masa pemerintahannya adalah melanjutkan hilirisasi. Program hilirisasi menjadi salah satu ujung tombak dalam pembangunan ekonomi lima tahun ke depan. Sebab, program ini memiliki multiplier effect yang luar biasa luas.
Dampak yang diharapkan melalui hilirisasi adalah terciptanya nilai tambah yang berlipat dari sebuah komoditas. Di dalam proses penciptaan nilai tambah tersebut, melibatkan banyak aktivitas, mulai dari hulu, rantai pasok, hingga proses menjadikan produk akhir yang siap digunakan masyarakat.
Presiden RI, Prabowo Subianto
Photo :
- Sekretariat Presiden
Bisa dibayangkan manakala keseluruhan proses dari hulu hingga hilir tersebut dilakukan di Indonesia, akan banyak menciptakan kegiatan ekonomi. Dengan sendirinya, akan banyak investasi yang masuk dan dengan sendirinya membuka lapangan kerja lebih luas. Penerimaan negara pun meningkat seiring dengan nilai tambah yang tercipta dari keseluruhan proses tersebut.
Pembangunan smelter PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT)
Indonesia boleh dikata terlambat memasuki era hilirisasi. Sekian lama terlena oleh booming meningkatnya harga komoditas, namun semuanya itu hanya dijual sebagai bahan mentah. Akibatnya nilai tambah dikuasai negara lain, dan Indonesia hanya menjadi pasar.
Sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, hilirisasi telah dijalankan, terutama untuk komoditas sumber daya alam mineral. Dimulai dengan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020, dan dibarengi dengan mengakselerasi masuknya investasi industri hilir di Tanah Air, melalui pembangunan smelter dan insfrastruktur pengolahan lainnya.
Bijih nikel mentah yang siap diolah menjadi feronikel (Foto Ilustrasi).
Larangan ekspor bijih nikel sejak empat tahun lalu, terbukti membuahkan hasil. Berdasarkan data, ekspor nikel dan produk derivatifnya melonjak signifikan. Pada 2019, sebelum larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor yang didapat US$ 9,3 miliar. Pada 2022 atau pada tahun ketiga larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspornya melonjak lebih 3 kali lipat menjadi US$ 33,8 miliar.
Telah disadari bersama, bahwa hilirisasi merupakan langkah strategis pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Melalui hilirisasi tidak hanya menciptakan nilai tambah, tetapi juga parameter bahwa Indonesia bertransformasi memasuki era sebagai negara industri. Sebab, hilirisasi dengan sendirinya melahirkan industri-industri baru.
Investasi Meningkat
Berkaitan dengan era baru industrialisasi, tentunya tidak bisa berjalan tanpa adanya investasi. Berkat adanya hilirisasi, investasi mulai mengalir.
Data menunjukkan, pada 2020, nilai investasi di sektor pertambangan mencapai sekitar US$ 8 miliar, dan investasi industri manufaktur di kisaran US$ 17 miliar. Tiga tahun kemudian, atau pada 2023, nilai investasi di sektor pertambangan meningkat menjadi sekitar US$ 10,5 miliar, dan investasi di manufaktur mencatat kenaikan menjadi US$ 20,3 miliar.
Khusus investasi komoditas mineral dan batu bara (minerba), mengutip data Badan Pusat Statistik juga mencatat kenaikan signifikan. Pada 2019, atau sebelum berlakunya larangan ekspor bijih nikel, investasi minerba sebesar US$ 3,9 miliar. Tahun berikutnya, 2020, bersamaan dengan larangan ekspor, meningkat menjadi US$ 4,2 miliar. Pada 2021 menjadi US$ 4,54 miliar, pada 2022 menjadi US$ 5,69, dan pada 2023 telah mencapai nilai US$ 7,46 miliar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) , Bahlil Lahadalia
Photo :
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Terkait investasi untuk hilirisasi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, hingga 2040, kebutuhan investasinya mencapai US$ 618 miliar. Dari jumlah itu, 91% kebutuhan investasi di sektor ESDM.
Seiring dengan bertambahnya investasi, penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut juga meningkat. Pada 2020, tenaga kerja yang terserap di sektor pertambangan sekitar 3 juta orang, dan di manufaktur sekitar 13,6 juta orang. Pada 2023, diperkirakan tenaga kerja di sector pertambangan meningkat menjadi 3,4 juta orang, dan manufaktur bertambah menjadi 14,2 juta orang.
Saat ini, Kementerian Investasi dan Hilirisasi telah menyusun peta jalan investasi hilirisasi sumber daya alam. Di dalamnya ada delapan sektor prioritas yang mencakup 21 komoditas.
Ke-21 komoditas yang akan didorong investasi untuk hilirisasi terdiri dari: batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas dan perak, aspal, minyak bumi, gas bumi, kelapa sawit, kelapa, karet, biofuel, kayu log, getah pinus, udang, ikan, kepiting, rumput laut, serta garam.
Batu Bara dari site BUMI, PT Kaltim Prima Coal, Sangatta, Kalimantan Timur.
Untuk komoditas mineral, sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki posisi dominan di industri upstream (hulu) dari sisi kepemilikan cadangan. Komoditas tembaga, misalnya, Indonesia memiliki cadangan terbesar nomor 8 di dunia, dengan pangsa produksi 4,3%. Komoditas timah, cadangan yang dimiliki terbesar ke-2 di dunia dengan produksi 21%.
Komoditas nikel, Indonesia menjadi negara dengan cadangan terbesar di dunia, dan menguasai lebih dari separo produksi nikel dunia, dengan pangsa 55%. Selanjutnya, untuk bauksit, cadangan Indonesia terbesar ke-6 dengan pangsa3,4%. Adapun untuk komoditas kobalt, cadangan yang dimiliki terbesar nomor 3 di dunia dengan pangsa 8,4%.
Komoditas mineral, di mana Indonesia memiliki posisi dominan di industri hulu, menjadi bahan baku utama baterai yang merupakan komponen utama kendaraan listrik.
Modal dominan inilah yang telah disadari pemerintah, dengan mendorong terbangunnya ekosistem baterai kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
Melalui strategi ini, Indonesia akan menjadi salah satu negara pertama di dunia yang memiliki ekosistem baterai kendaraan listrik yang lengkap dari hulu ke hilir. Yakni mulai dari pertambangan, smelter, HPAL, prekursor, katoda, baterai cell, sampai dengan recycle-nya.
Jika kelak ekosistem tersebut terwujud, akan lebih banyak lagi investasi yang mengalir. Dengan adanya investasi, otomatis membuka lebih banyak lapangan kerja. Dengan demikian, hilirisasi mampu menjadi lokomotif pertumbuhan dan juga pengentasan kemiskinan.
Halaman Selanjutnya
Source : Antara