Jakarta, VIVA – Pakar hukum internasional menilai kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek menyalahi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilindungi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Kebijakan tersebut tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes)
Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana, dalam UU No. 26/2016 atau UU Merek, menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan susunan warna untuk membedakan antara satu merek dengan merek lainnya.
"Pemuatan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor," ujar Hikmahanto seperti dikutip Sabtu, 9 November 2024.
Pakar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana
Photo :
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Namun, Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat seluruh kemasan rokok yang dipasarkan harus memiliki fitur kemasan yang seragam tanpa pembeda apa pun. "Tentu pelaku usaha ingin bersaing dengan pelaku usaha lainnya dengan memunculkan apa perbedaan dari mereknya dengan merek pesaingnya," ujarnya.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu menengarai, tekanan terhadap industri hasil tembakau, termasuk penyeragaman bungkus rokok merupakan intervensi asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Menurutnya lagi, pengaturan penyeragaman bungkus rokok yang membuat kehilangan identitas merek ini sebagai agenda pemaksaan asing terhadap pasar Indonesia.
Hikmahanto menyatakan, agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC, dengan pemerintah secara saksama telah mempelajarinya dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.
"Kita tidak dan jangan pernah tunduk dengan FCTC. Tapi mereka memaksa lewat Kemenkes supaya ketentuan-ketentuan yang ada dalam FCTC itu diadopsi. Jadi bukan diratifikasi, diadopsi ke dalam hukum Indonesia," ujarnya pula.
Hikmahanto menyatakan Rancangan Permenkes untuk mengatur kemasan rokok tanpa identitas merek ini menjadi paradoks di Indonesia. Ketika Australia pertama kali menjalankan aturan penghilangan identitas merek di bungkus rokok pada 2012, Indonesia menjadi salah satu negara yang melawannya.
Tapi, kini justru Indonesia berupaya menerapkan kebijakan kontradiktif dengan melakukan langkah serupa. Padahal tindakan tersebut telah memberikan gangguan yang terasa oleh tenaga kerja hingga produk ekspor Indonesia, khususnya produk hasil tembakau. (Ant)
Halaman Selanjutnya
Hikmahanto menyatakan, agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC, dengan pemerintah secara saksama telah mempelajarinya dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.