Jakarta, VIVA – Sejumlah kalangan masyarakat dari serikat pekerja, petani tembakau, hingga para pedagang, mendesak evaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024), sekaligus membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terutama soal aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa merek.
Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS menilai, aturan ini telah memberikan dampak serius terhadap industri hasil tembakau (IHT), serta kesejahteraan dan penghidupan pekerja serta petani tembakau.
Dia mengaku, pihaknya belum mendapatkan respons berarti dari pemerintah terutama Kemenkes, dalam menanggapi berbagai regulasi destruktif. Misalnya seperti wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, sebagaimana yang tertera pada Rancangan Permenkes.
Padahal, kata Sudarto, pihaknya telah melakukan berbagai upaya agar aspirasi buruh dan pekerja dapat didengar, mulai dari ajakan dialog hingga unjuk rasa.
"Kami juga telah mengirimkan surat setiap tahun kepada presiden, aktif melakukan audiensi, dan berdialog untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang dihadapi. Namun, ketika audiensi dilakukan, Kemenkes tidak hadir," ujar Sudarto dikutip dalam keterangannya, Jumat, 8 November 2024.
Ketua Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP FSP RTMM-SPSI), Sudarto AS
Photo :
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Dia juga menekankan, dampak regulasi yang menekan industri hasil tembakau itu, memiliki dampak besar bagi pekerja. Terutama bagi mereka yang bergantung pada sektor ini sebagai sumber mata pencaharian utama.
Sudarto berpendapat, kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang ketat, seperti kenaikan cukai yang tinggi, zonasi larangan penjualan, hingga larangan iklan luar ruang, mengakibatkan penurunan produksi dan berujung pada peningkatan angka PHK.
Menurut data RTMM, sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mayoritas pekerjanya menerima penghasilan berdasarkan sistem borongan, sangat terpengaruh oleh stagnansi penghasilan dan pengurangan jam kerja. Maka, perlindungan terhadap tenaga kerja di industri tembakau sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sawah ladang mereka.
Dengan desakan tersebut, RTMM berharap pemerintah segera menindaklanjuti permintaan buruh dan pekerja. Sekaligus melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap regulasi, yang berdampak pada keberlangsungan hidup ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di sektor pertembakauan tersebut.
"Kami mati-matian mempertahankan hak-hak pekerja yang terancam oleh regulasi. Harapannya, pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dan memberikan perhatian yang layak terhadap kesejahteraan pekerja di industri ini," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Sudarto berpendapat, kebijakan fiskal maupun non-fiskal yang ketat, seperti kenaikan cukai yang tinggi, zonasi larangan penjualan, hingga larangan iklan luar ruang, mengakibatkan penurunan produksi dan berujung pada peningkatan angka PHK.