Jakarta, VIVA – Ahli Hukum Prof. Romli Atmasasmita, turut memberikan sebuah sorotan tajam terkait dengan metode penghitungan kerugian negara yang digunakan dalam perkara tersebut. Dia mengatakan hal itu lantaran latar belakangnya sebagai ahli.
Dia hadir sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin 25 November 2024 kemarin.
Salah satu perancang UU Tipikor itu, menjelaskan bahwa penghitungan kerugian negara seharusnya hanya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
“Kerugian keuangan negara dan kerugian negara itu berbeda. Kerugian keuangan negara pasti terkait dengan APBN atau APBD, sesuai definisi dalam Undang-Undang (UU). Sementara kerugian negara bisa berasal dari aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Namun, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan oleh ahli lingkungan,” ujar Romli Atmasasmita kepada wartawan, Selasa 26 November 2024.
Sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta
Dia turut menyoroti terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang menghapus istilah “dapat” dalam frasa menimbulkan kerugian negara.
MK menghapus kata "dapat" dalam perkara korupsi karena bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini menyatakan bahwa kerugian negara yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” ucap dia.
BPKP Tak Berwenang Hitung Kerugian Negara
Dalam kasus ini, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga dinilai bermasalah.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Negara, hanya BPK yang memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara.
“BPKP tidak memiliki dasar hukum untuk menghitung kerugian negara. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal untuk kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Presiden. Untuk menghitung kerugian negara yang resmi, itu adalah tugas BPK,” tambahnya.
Menurutnya, laporan yang digunakan dalam kasus PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih kasus ini menyasar pihak swasta yang nota bene hanya partner kerja dari anak usaha BUMN tersebut.
“Bahasa saya ini dipaksakan. Perbuatan melawan hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau di level direksi (PT Timah) ada pelanggaran wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau ke swasta, belum tentu, karena mereka memiliki perlindungan dalam kontrak perjanjian,” ujarnya.
Moral Hakim dalam Tekanan
Sorotan lain datang dari tekanan publik terhadap moral hakim dalam menangani kasus ini. Prof. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama bagi lembaga lembaga hakim penindak kasus tipikor.
“Hakim sering dihadapkan pada dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia,” pungkasnya.
Adapun, Prof. Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli dalam persidangan lanjutan kasus PT Timah dengan terdakwa Tamron, Hasan tjhi, Ahmad albani, Buyung (kwan yung), selaku pihak swasta.
Halaman Selanjutnya
“Jika kerugian hanya berdasarkan perkiraan, itu tidak dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam memutus perkara tipikor. Hakim bebas mempertimbangkan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” ucap dia.