Batam, VIVA - Masyarakat melayu masih memperjuangkan terkait haknya di Kepulauan Riau karena beberapa polemik. Hal itu jadi perhatian karena konflik pemerintah dengan masyarakat di beberapa tempat seperti Batam dan Rempang.
Konflk itu seperti warga di Pulau Rempang minta pemerintah mengevaluasi proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City. Permintaan itu karena dianggap merugikan masyarakat Melayu yang sudah ratusan tahun tinggal di sana.
Omongan senada disampaikan Megat Rury Afriansyah yang juga mewakili tokoh masyarakat Melayu. Menurut dia, masyarakat Melayu juga terdampak dari praktik mafia tanah, salah satunya dalam kasus perobohan Hotel Purajaya, Nongsa, Batam yang sudah dirobohkan sejak 2023.
Dia menyoroti perebohan hotel yang punya sejarah. "Apa salahnya dengan Melayu hingga harus membongkar hotel yang sudah dibangun dari tahun 1993 tersebut secara paksa?" kata Rury, yang juga merupakan ketua Saudagar Rumpun Melayu sejak tahun 2017.
Ia menyebut peran hotel itu sebagai tempat berkumpul para tokoh Melayu dalam merembukkan provinsi Kepri. "Gus Dur menginap di sana dua kali hingga provinsi Kepri terbentuk pada 2002," ujarnya.
Pun, ada dua alokasi pengelolaan lahan (PL) dalam kasus hotel Purajaya ini. Pertama, yaitu alokasi pertama untuk 10 hektar lahan yang digunakan pengelola untuk membangun hotel. Lalu, kedua seluas 20 hektar yang disebut pengelola dipakai sebagai gedung mess, gardu listrik dan bangunan lain penunjang hotel.
Rury menyampaikan, pihaknya sudah mengajukan perpanjangan alokasi lahan ke BP Batam. Namun, BP Batam disebut menolak perpanjangan ini karena Hotel Purajaya tidak menarik lagi secara pariwisata.
"Kami melakukan presentasi sekitar 2-3 kali untuk perpanjangan masa alokasi lahan, lalu ditolak dengan alasan tidak menarik," jelas Rury.
Dia merasa heran dengan Hotel Purajaya yang dianggap tak menarik. "Sementara hotel kami Bintang 5 sudah berdiri dari tahun 1996, kan kami yang tahu bagaimana menarik, kami di bidang pariwisata, harus ada dasarnya" tuturnya.
Lebih lanjut, dia mengingatkan menggusur hotel tak hanya merugikan dirinya sebagai pemilik hotel, tapi juga berdampak pada ratusan pekerja Melayu. Sebab, banyak masyarakat Melayu yang bergantung pada hotel tersebut.
"Kami membekerjakan ratusan orang Melayu setempat yang ada di sekitaran resort tersebut. Bagaimana dengan nasib mereka? Apa dampak sosial yang terjadi pada kami, khususnya Bangsa Melayu?" ujarnya.
Kemudian, dia juga menambahkan keadilan yang seharusnya didapatkan masyarakat Melayu. Menurut dia, Hotel Purajaya sudah jadi bagian dari sejarah Melayu di Kepulauan Riau sehingga mestinya tak dibongkar.
"Apakah masih ada keadilan di Bumi Melayu ini? Kenapa kami sepertinya tidak dilihat oleh pemerintah pusat? Kenapa bangunan kami diratakan begitu saja?" ujar Rury.
Halaman Selanjutnya
"Kami melakukan presentasi sekitar 2-3 kali untuk perpanjangan masa alokasi lahan, lalu ditolak dengan alasan tidak menarik," jelas Rury.