Jakarta, VIVA – Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sebanyak 33 dari 37 provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak pada 27 November 2024 terindikasi kuat memiliki pasangan calon yang terafiliasi dengan dinasti politik.
Meski secara legal-formal tidak ada larangan bagi individu yang terafiliasi dinasti politik untuk berlaga di Pilkada, namun jika Pemilu dimaknai sebagai sarana sirkulasi kekuasaan dan mencari pemimpin berkualitas, keberadaan dinasti politik berpotensi besar akan bertolak belakang dengan esensi demokrasi dan menjauhi semangat tata kelola pemerintahan yang meritokratis.
Demikian disampaikan Peneliti ICW, Yassar Aulia dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 24 November 2024.
“Terlebih, ICW juga mencatat bahwa terdapat kaitan kuat antara keberadaan dinasti politik dan praktik lancung korupsi. Dari setidaknya 54 dinasti politik yang pernah terpetakan baik di skala daerah dan nasional, maupun lingkup kekuasaan eksekutif dan legislatif, terdapat kasus korupsi yang muncul di wilayah tersebut,” katanYassar Aulia.
Sebagai contoh, lanjut Yassar, dinasti Ratu Atut Chosiyah yang memiliki 12 anggota keluarga dalam kepemimpinan Banten, di mana ia dan adiknya menjadi terpidana dalam kasus korupsi alat kesehatan di Tangerang Selatan.
Kemudian pada dinasti Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais dan anaknya, Rita Widyasari sama-sama terseret kasus korupsi yang berbeda saat menjabat menjadi kepala daerah. Contoh lain, pada dinasti Klaten, pasangan suami-istri Haryanto Wibowo dan Sri Hartini menjadi terpidana korupsi dan suap promosi jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Yassar menegaskan korelasi kuat antara dinasti politik di suatu daerah dan adanya kasus korupsi di wilayah tersebut menjadi satu hal yang harus disikapi secara serius.
“Terlebih, dinasti politik yang selalu berusaha mewariskan dan mempertahankan kekuasaan, mencerminkan implementasi dari demokrasi yang semu dalam mekanisme pergantian pemimpin di daerah,” ujarnya.
Yassar menekankan, dinasti politik sejatinya berupaya mengutamakan keluarga untuk melanjutkan posisi, sehingga berlawanan dengan semangat demokrasi yang menginginkan perputaran dan pembatasan kekuasaan. Menurut Yassar, dengan tidak menghiraukan kepentingan publik, kompetensi, kapasitas, serta integritas, dinasti politik berpotensi menciptakan monopoli kekuasaan yang berujung pada lemahnya mekanisme pengawasan serta membuka berbagai celah praktik korupsi.
Sementara itu, dalam konteks Pilkada 2024, sambung Yassar, ICW menemukan sebanyak 26,8 persen atau 156 dari total 582 individu yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah terindikasi terafiliasi dinasti politik.
“Angka tersebut didominasi oleh afiliasi dinasti politik pada calon kepala daerah sebanyak 100 kandidat dan pada calon wakil kepala daerah sebanyak 56 kandidat. Para kandidat ini umumnya terafiliasi karena ikatan darah atau ikatan pernikahan dengan berbagai variasi di tiap provinsi,” kata Yassar.
Adapun pola dinasti paling banyak yakni dinasti dengan variasi hubungan orang tua-anak sebanyak 70 kandidat; suami-istri sebanyak 40 kandidat; adik-kakak 34 kandidat; saudara (keponakan, sepupu, ipar) sebanyak 8 kandidat; dan pola dinasti mertua-menantu sebanyak 4 kandidat.
Ilustrasi pilkada serentak 2024
Photo :
- VIVA.co.id/Andrew Tito
“Dari total 37 provinsi yang ditelusuri oleh ICW, hanya Provinsi Papua Barat, Papua, Papua Tengah, dan Papua Selatan yang tidak ditemukan memiliki afiliasi dinasti politik,” ujarnya. Di sisi lain, lima provinsi dengan dinasti politik terbanyak ditempati oleh: Nusa Tenggara Barat (11 kandidat), Sulawesi Tenggara (11 kandidat), Sulawesi Selatan (10 kandidat), Sulawesi Barat (9 kandidat), dan Sulawesi Utara (7 kandidat).
Yassar menekankan, Pilkada seharusnya diisi oleh kandidat-kandidat kompeten dan berintegritas. Nyatanya, Pilkada 2024 justru didominasi oleh para calon yang memiliki koneksi kekerabatan dan kekeluargaan.
Tidak hanya itu, Yassar juga menyoroti fenomena kotak kosong di 37 kota/kabupaten pada Pilkada 2024 juga semakin memperkuat kemunduran demokrasi Indonesia, karena menghilangkan aspek kompetisi dari demokrasi elektoral. ICW juga menemukan bahwa di 12 daerah dengan calon yang melawan kotak kosong, kandidat yang berkontestasi terafiliasi dengan dinasti politik.
“Perhelatan pilkada yang seharusnya menjadi salah satu wadah formal aktualisasi kedaulatan rakyat ternyata masih terjajah oleh berbagai intervensi, termasuk politik dinasti yang mewabah,” kata Yassar.
Hal ini semakin diperparah dengan ketertutupan informasi tentang para kandidat karena minimnya komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara. “Ini mengulang praktik buruk pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden di 2024 silam, di mana informasi-informasi krusial terkesan ditutup-tutupi yang berujung pada pelanggaran hak asasi para pemilih,” ujar Yassar.
Merespons situasi memprihatinkan tersebut, ICW pun menginisiasi peluncuran fitur baru dalam situs Rekam Jejak yang telah dikembangkan sejak 2015 untuk memantau afiliasi serta latar belakang pejabat publik.
“Selain itu, informasi yang dikompilasikan juga didapatkan dari masukan-masukan publik. Pada fitur baru tersebut, terdapat informasi terkait afiliasi dinasti politik, afiliasi bisnis, informasi terkait korupsi, kekayaan dari para kandidat yang dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), hingga afiliasi lainnya dari tiap calon kepala daerah dan calon wakilnya,” imbuhnya.
Halaman Selanjutnya
Source : canva.com