Jakarta, VIVA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan atas desain surat Pilkada calon kepala daerah tunggal pada Pilkada Serentak 2024. MK memutuskan surat suara itu diubah model plebisit dengan keterangan 'setuju' dan 'tidak setuju' yang mulai berlaku pada Pilkada 2029.
Permohonan itu dikabulkan MK dalam sidang putusan perkara Nomor 126/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis, 14 November 2024. Perkara tersebut menguji materiil Pasal 54C UU Nomor 10 Tahun 2016.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang.
Ilustrasi surat suara peserta pemilu (antara)
Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh mahasiswa dan karyawan swasta bernama Wanda Cahya Irani dan Nicholas Wijaya. Salah satu pokok permohonan para pemohon berkaitan dengan desain surat suara dalam Pasal 54 C Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
MK menyimpulkan dalil permohonan para pemohon terkait dengan desain surat suara tersebut beralasan menurut hukum sebagian. Oleh karena itu, MK menyatakan Pasal 54 C Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 inkonstitusional bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK menyoroti keterangan dalam surat suara yang digunakan pada pilkada calon tunggal saat ini yang berbunyi, “coblos pada: foto pasangan calon atau kolom kosong tidak bergambar".
Menurut MK, narasi keterangan tersebut bukan suatu bentuk narasi yang utuh dan komprehensif dalam penyajian suatu pilihan. Sebab, keterangan tersebut tidak dilengkapi dengan narasi yang menggambarkan implikasi dari masing-masing pilihan.
Oleh sebab itu, Mahkamah menilai narasi keterangan dimaksud dapat menimbulkan mispersepsi bagi pembaca, mengingat tidak semua pemilih mengerti bahwa kolom kosong merupakan tempat untuk menyatakan pilihan tidak setuju terhadap calon tunggal.
MK berpendapat bahwa kesalahpahaman akibat ketiadaan informasi atau penjelasan yang utuh dalam keterangan yang dimuat pada desain surat suara untuk pilkada calon tunggal, secara langsung akan berdampak pada para pemilih dalam mengambil keputusan.
"Akibatnya, terdapat potensi ketidakseimbangan dalam memilih. Dalam hal ini, yang lebih diuntungkan adalah pilihan yang lebih banyak memuat informasi, seperti pilihan kolom yang memuat foto pasangan calon, lengkap dengan nama calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga cenderung lebih menarik para pemilih," tutur Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Dalam batas penalaran yang wajar, MK menilai desain surat suara yang demikian tidak memberikan keseimbangan dalam pilkada yang demokratis dan jauh dari asas-asas pemilu yang diamanatkan UUD RI Tahun 1945.
Untuk memberikan keseimbangan agar asas-asas pemilu tergambar dengan benar dalam pilkada calon tunggal, MK tetap pada pendiriannya yang menghendaki agar kontestasi pilkada calon tunggal kembali menggunakan model plebisit, yakni model yang meminta para pemilih untuk menentukan "setuju" atau "tidak setuju" dengan calon tunggal.
Meski demikian, pilihan tersebut masih tetap dapat menyisakan persoalan karena terdapat pemilih yang tidak bisa atau memiliki keterbatasan baca-tulis. Oleh karena itu, MK berpesan agar KPU mensosialisasikan secara intensif makna kata "setuju" atau "tidak setuju" dalam surat suara pilkada calon tunggal.
Pada pertimbangannya, MK juga menyoroti fakta bahwa Pilkada 2024 telah memasuki tahap menjelang pemungutan suara dan tahapan pencetakan surat suara telah dilakukan, sehingga model desain surat suara yang diubah oleh MK tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada pilkada tahun ini.
"Oleh karena itu, desain atau model surat suara baru dengan model plebisit dalam pilkada dengan satu pasangan calon dimaksud, mulai diberlakukan pada Pilkada 2029," imbuh Saldi.
Halaman Selanjutnya
MK berpendapat bahwa kesalahpahaman akibat ketiadaan informasi atau penjelasan yang utuh dalam keterangan yang dimuat pada desain surat suara untuk pilkada calon tunggal, secara langsung akan berdampak pada para pemilih dalam mengambil keputusan.