Jakarta, VIVA – Majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat turut meminta penjelasan kepada salah satu auditor investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suaedi terkait dengan kerugian yang dialami PT. Timah dalam kasus dugaan rasuah Timah.
Suaedi merupakan salah satu saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus korupsi Timah dengan terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Emil Ermindra selaku Direktur Keuangan PT Timah periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa. Sidang digelar pada Rabu 13 November 2024.
“Jika PT Timah menambang sendiri, maka ada 2 cost yakni biaya penggantian lahan dan biaya penambangan. Di mana letak kerugian negaranya? Kemudian jelaskan variable, sehingga biaya peleburan disimpulkan kemahalan,” tanya Hakim Alfis Setyawan di ruang sidang.
Helena Lim, Bersaksi di Persidangan Harvey Moeis
Photo :
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
Setelah itu, Suaedi mengatakan bahwa telah terjadi kerugian negara dari analisa atas BAP yang diperlihatkan penyidik kepadanya.
"Dari keterangan saksi dan ahli ini adalah penambangan illegal Yang Mulia. Sumber daya alam diperlukan izin, maka kami berkesimpulan bahwa perolehan biji timah tanpa izin itu illegal, dan itulah kerugian negara Yang Mulia,” kata Suaedi.
Auditor BPKP tersebut, menjelaskan bahwa ia belum pernah mengklarifikasi keterangan saksi maupun ahli dalam BAP. Suaedi mengaku bahwa saat kunjungan lapangan tidak melakukan verifikasi dan klarifikasi data.
Sementara itu, usai persidangan Penasehat Hukum terdakwa Mochtar Riza Pahlevi, Junaedi Saibih menyampaikan rasa kekecewaan atas keterangan saksi.
“Saksi terbukti tidak menjalankan SOP sebagai auditor, hanya menganalisa dan menyimpulkan berdasarkan BAP yang diperlihatkan penyidik. Demikian pula ketika melakukan kunjungan lapangan, tidak melakukan verifikasi dan klarifikasi, hanya datang ke lapangan saja,” kata Junaedi Saibih.
Dalam persidangan itu berulangkali majelis hakim mengingatkan, bahwa yang diminta dari penjelasan saksi adalah soal angka dan cara penghitungan. Terkait fakta ilegal dan tindakan melawan hukum sudah disampaikan di persidangan sebelumnya.
Beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh saksi antara lain terkait perhitungan harga pokok produksi (HPP) di unit peleburan Muntok (Bangka Belitung) dan unit penglogaman di Kundur (Kepri), padahal persidangan ini hanya membahas Bangka Belitung.
Suaedi menjelaskan proses perhitungan kerugian keuangan negara Rp 300 triliun tersebut. Dia mengatakan Kejaksaan Agung meminta BPKP melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini pada 14 November 2023.
"Akan kami sampaikan secara ringkas Yang Mulia, tentang bagaimana proses audit itu kami lakukan. Yang pertama adanya permintaan dari Kejaksaan Agung tanggal 14 November 2023, perihal bantuan perhitungan kerugian keuangan negara dan permintaan keterangan ahli. Nah prosesnya, di kami berlaku bahwa setiap permintaan itu tidak serta-merta dilakukan langsung surat penugasan, ada sarana ekspose. Jadi yang kedua surat tugas baru kita terbitkan itu 26 Februari 2024," kata Suaedi.
Di persidangan, kata dia, terbukti bahwa angka Rp 271 triliun bukan berdasarkan hasil perhitungan BKPK. "Ahli hanya mengadopsi angka yang dihitung oleh ahli lingkungan, dan tanpa mengkonfirmasi dan memverifikasinya,” imbuhnya.
Dalam persidangan, majelis hakim mempertanyakan BPKP dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara hanya menghitung pembayaran yang dikeluarkan, sementara pendapat atau pemasukan tidak dipertimbangkan.
Selain itu, hakim juga menekankan adanya fakta bahwa BPKP juga tidak membuat perbandingan efesiensi biaya jika PT Timah melakukan penambangan dan peleburan sendiri dan bekerja dengan swasta.
Halaman Selanjutnya
Dalam persidangan itu berulangkali majelis hakim mengingatkan, bahwa yang diminta dari penjelasan saksi adalah soal angka dan cara penghitungan. Terkait fakta ilegal dan tindakan melawan hukum sudah disampaikan di persidangan sebelumnya.