Jawa Timur, VIVA – Di tengah modernisasi dan gempuran perkembangan teknologi, dunia pertanian sering kali dianggap kurang menarik bagi generasi muda. Banyak anak muda yang cenderung memilih karir di bidang teknologi, keuangan, atau industri kreatif yang dianggap lebih prestisius dan memberikan penghasilan lebih besar.
Indonesia sebagai negara agraris memiliki lahan subur dan iklim tropis yang sangat cocok untuk pertanian. Namun, ironi yang muncul adalah adanya kecenderungan menurunnya minat bertani di kalangan generasi muda. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar petani di Indonesia berada pada usia tua, dengan rata-rata usia petani lebih dari 50 tahun.
Ini mengindikasikan adanya tantangan regenerasi petani yang mendesak untuk diatasi agar sektor pertanian Indonesia tetap berkelanjutan. Jika anak muda tak lagi tertarik bertani, maka masa depan ketahanan pangan Indonesia berada dalam ancaman. Di sinilah pentingnya menumbuhkan kembali semangat bertani pada generasi muda dengan menunjukkan bahwa sektor ini dapat dikelola secara modern, berkelanjutan, dan menguntungkan.
Beberapa alasan yang membuat anak muda enggan terjun ke bidang pertanian adalah, bertani sering kali dianggap sebagai pekerjaan yang melelahkan, dengan hasil yang tidak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Citra ini membuat banyak anak muda merasa enggan untuk berkarier di bidang ini.
Kurangnya akses terhadap pelatihan dan pendidikan mengenai pertanian modern juga menjadi hambatan. Banyak anak muda yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang teknologi pertanian modern. Modal dan teknologi juga menjadi tantangan besar bagi mereka yang ingin memulai usaha di sektor pertanian. Peralatan dan teknologi pertanian modern sering kali membutuhkan investasi besar yang sulit dijangkau oleh petani pemula.
Seiring dengan rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian dan peternakan, banyak dari mereka beranggapan bahwa sektor ini tidak menjanjikan sebagai mata pencaharian. Namun, Rizki Hamdani memiliki pandangan berbeda. Ia bertekad untuk mengubah persepsi ini dan meyakinkan generasi muda bahwa bertani dan beternak bisa menjadi profesi yang menguntungkan.
Keyakinan ini mendorong Rizki untuk menciptakan program yang dapat memperkenalkan kembali potensi pertanian kepada generasi muda, khususnya melalui pondok pesantren. Rizki memulai program ini di Pondok Fathul Ulum, sebuah pesantren yang tidak memiliki pendidikan formal seperti kebanyakan pondok modern lainnya. Menyadari potensi yang besar di bidang pertanian dan peternakan, ia merancang konsep yang melibatkan santri secara langsung. Dengan dukungan pondok, Rizki mengembangkan Kelompok Santri Tani Milenial, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk melatih santri dalam bertani dan beternak dengan pendekatan inovatif.
Program ini tidak hanya sekadar mengajarkan teknik dasar bertani, tetapi juga mengenalkan integrated farming system (IF) atau sistem pertanian terpadu. Sistem ini menggabungkan berbagai sektor seperti pertanian, peternakan, dan budidaya perikanan dalam satu ekosistem yang saling mendukung. Dalam program ini, para santri dilatih untuk mengelola lahan dengan metode modern yang berkelanjutan, dengan harapan bahwa keterampilan ini akan menjadi bekal penting bagi mereka setelah lulus dari pesantren.
Selain pelatihan bertani dan beternak, Rizki juga membentuk Kelompok Santri Tani Milenial sebagai wadah wirausaha sosial yang melibatkan beberapa pesantren di Jombang. Kelompok ini berfungsi untuk menggerakkan ekonomi di lingkungan pesantren dengan cara memberdayakan santri dalam kegiatan pertanian, peternakan, dan perikanan. Dengan adanya program ini, hingga Agustus lalu sudah terbentuk 30 kelompok santri tani yang tersebar di berbagai pesantren di Jombang, menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.
Salah satu contoh keberhasilan yang menonjol adalah kelompok tani sorgum yang dikelola oleh santri. Berkat fasilitas pengolahan pasca-panen yang diberikan, mereka mampu meningkatkan pendapatan hingga Rp60 juta per bulan. Pendapatan ini diperoleh dari penjualan produk olahan sorgum yang kini dipasarkan di area peristirahatan sepanjang Tol Trans Jawa. Pemasaran yang strategis ini memberikan nilai tambah pada produk tani, sekaligus membuka akses bagi masyarakat untuk mengenal produk-produk lokal dari santri.
Usaha Rizki yang pantang menyerah untuk mengembangkan dan memajukan pertanian di kalangan santri mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Kementerian Pertanian dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) serta Hutan Lindung Brantas turut mendukung program ini. Dukungan tersebut menunjukkan pengakuan atas upaya Rizki dalam memotivasi generasi muda untuk kembali menekuni bidang pertanian dan peternakan yang selama ini dianggap kurang menarik. Program ini bukan hanya membangkitkan minat bertani di kalangan santri, tetapi juga membawa dampak positif pada perekonomian masyarakat setempat.
Melalui Kelompok Santri Tani Milenial, Rizki Hamdani membuktikan bahwa pertanian dan peternakan bukanlah profesi kuno yang tidak menjanjikan, tetapi merupakan sektor dengan potensi besar bagi generasi muda. Dengan inovasi dan manajemen yang tepat, bertani dan beternak bisa menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi, sekaligus memberdayakan lingkungan pesantren agar lebih mandiri secara finansial. Atas usahanya itu, Rizki Hamdani mendapat penghargaan bergengsi Satu Indonesia Awards pada tahun 2020 silam.
Halaman Selanjutnya
Keyakinan ini mendorong Rizki untuk menciptakan program yang dapat memperkenalkan kembali potensi pertanian kepada generasi muda, khususnya melalui pondok pesantren. Rizki memulai program ini di Pondok Fathul Ulum, sebuah pesantren yang tidak memiliki pendidikan formal seperti kebanyakan pondok modern lainnya. Menyadari potensi yang besar di bidang pertanian dan peternakan, ia merancang konsep yang melibatkan santri secara langsung. Dengan dukungan pondok, Rizki mengembangkan Kelompok Santri Tani Milenial, sebuah inisiatif yang bertujuan untuk melatih santri dalam bertani dan beternak dengan pendekatan inovatif.