Jakarta, VIVA – Mardani Maming divonis bersalah atas dugaan suap terkait izin usaha pertambangan. Namun, sejumlah pakar hukum meragukan dasar hukum dari putusan kepada mantan Bupati Tanah Bumbu itu.
Para ahli hukum menilai bahwa putusan tersebut mencerminkan adanya kecenderungan ‘presumption of corruption’ atau praduga korupsi yang berlebihan dalam sistem peradilan Indonesia.
Beberapa guru besar hukum dan akademisi hukum mulai dari kampus ternama seperti, Universitas Padjadjaran serta universitas Islam Indonesia sudah lugas menyatakan ada kekeliruan dalam putusan tersebut.
Dukungan terkait kasus ini juga datang dari Akademisi Departemen Hukum Administrasi Negara dan Departemen Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Dr Hendry Julian Noor S.H., M.Kn dan tim Hukum UGM berpendapat bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum tidak cukup kuat untuk membuktikan adanya unsur pidana korupsi.
Tim Anotasi Fakultas Hukum Unpad mempresentasikan kajian kasus Mardani Maming
Ia berpendapat bahwa tindakan Mardani Maming masih berada dalam koridor kewenangannya sebagai kepala daerah dan tidak melanggar prosedur yang berlaku. Salah satu poin penting yang dikritisinya adalah penerapan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Putusan ini mengkhawatirkan karena mengaburkan batas antara tindakan yang bersifat administratif dengan tindak pidana korupsi," ujarnya saat memberi keterangan ahli terkait kekeliruan dan kekhilafan yang nyata hakim dalam mengadili perkara Mardani H Maming, dikutip Sabtu, 26 Oktober 2024.
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya,"tambahnya.
Keterangan ahli lain, juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap prinsip hukum yang berlaku, seperti asas praduga tidak bersalah."Dalam kasus ini, tampaknya berlaku prinsip praduga bersalah. Beban pembuktian seolah-olah dibalik, di mana terdakwa harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah," kata Karina Dwi Nugrahati Putri.
Kondisi ini, menurut para ahli, merupakan dampak negatif dari upaya pemerintah memberantas korupsi secara agresif tanpa didukung oleh sistem pengawasan yang memadai.
"Kebijakan politik yang terlalu fokus pada penindakan tanpa memperhatikan aspek hukum dan keadilan dapat berujung pada kesalahan penuntutan," tegasnya.
Sebelumnya, catatan terhadap kekeliruan ini juga muncul dati Akademisi Anti-Korupsi Universitas Padjadjaran (Unpad) bersepakat desak pembebasan Mardani H Maming demi kembalikan martabat hukum Indonesia.
Desakan itu muncul dari pernyataan sikap yang disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.
Tim Anotasi Fakultas Hukum Unpad mempresentasikan kajian mengenai kasus yang menimpa Mardani H Maming di Auditorium Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Padajaran, Bandung., Jumat (18/10/2024).
Mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming.
Para akademisi yang mempresentasikan anotasi itu adalah Dr. Sigid Suseno,S.H,M.Hum, Dr. Somawijaya, S.H.,M.H, Dr. Elis Rusmiati, S.H.,M.H, Dr. Erika Magdalena Chandra, S.H.,M.H, Budi Arta Atmaja, S.H.,M.H, dan Septo Ahady Atmasasmita, S.H,L.L.
Pendapat serupa juga muncul dari Akademisi Anti-Korupsi Universitas Islam Indonesia (UII) mendesak agar Mardani H Maming segera dibebaskan. Desakan itu mencuat setelah adanya eksaminasi putusan hakim dan temuan adanya kekhilafan dan kesalahan hakim saat memberikan vonis.
Pengajar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UII, Dr Mahrus Ali, menyampaikan itu melalui rilis pada Selasa kemarin. Menurutnya, Mardani H Maming tidak melanggar semua pasal yang dituduhkan sehingga harus dibebaskan demi hukum dan keadilan.
Halaman Selanjutnya
"Terdapat kecenderungan untuk menjerat setiap pejabat publik dengan tuduhan korupsi, tanpa memperhatikan secara cermat unsur-unsur pidananya,"tambahnya.