Jakarta, VIVA –Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali mengguncang dunia kerja. Di Amerika Serikat, jumlah pekerja yang diberhentikan sepanjang 2025 sudah melampaui angka total sepanjang tahun 2024.
Namun, menariknya, teknologi seperti AI yang kerap disalahkan bukan satu-satunya penyebab badai PHK kali ini.
Laporan dari firma karier Challenger, Gray & Christmas mencatat bahwa hingga Juli 2025, lebih dari 806.000 pekerjaan telah terhapus di AS. Angka ini jauh lebih tinggi dari total PHK pada 2024 yang berjumlah 761.358.
Dan kondisi serupa juga mulai terasa dampaknya di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per pertengahan 2025, lebih dari 42 ribu pekerja di Indonesia mengalami PHK.
Di sisi lain, jumlah pengangguran nasional masih tinggi, yakni mencapai 7,28 juta orang. Lantas, apa saja faktor yang memicu badai PHK secara global dan di Indonesia? Berikut ulasannya, seperti dirangkum dari Forbes.
Ilustrasi mencari kerja
Photo :
- Pixabay/ niekverlaan
1. Pemotongan Massal oleh Pemerintah AS Lewat Program DOGE
Awal 2025, Presiden Donald Trump meluncurkan program efisiensi pemerintah yang dikenal sebagai DOGE atau Department of Government Efficiency. Lewat program ini, pemerintah AS menawarkan buyout kepada lebih dari 2 juta pegawai negeri untuk mengundurkan diri secara sukarela. Hasilnya, lebih dari 65.000 pekerja federal menerima tawaran tersebut hanya dalam dua minggu.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga memangkas ribuan posisi di militer, departemen veteran, dan sektor nonprofit. Laporan mencatat bahwa pemangkasan anggaran hibah menyebabkan lebih dari 17.000 pekerja di sektor nonprofit kehilangan pekerjaan. Ini menunjukkan bagaimana kebijakan politik bisa berdampak langsung pada keamanan profesi.
2. AI dan Otomatisasi Mengubah Peta Profesi
Di sektor swasta, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) semakin banyak digunakan untuk menggantikan pekerjaan manual dan administratif. Akibatnya, lebih dari 89.000 pekerja di sektor teknologi sudah mengalami PHK sepanjang 2025.
Perusahaan besar seperti Intel, Microsoft, PayPal, hingga HP termasuk yang melakukan pengurangan tenaga kerja dalam skala besar. AI dianggap mampu menyelesaikan banyak pekerjaan secara lebih efisien, tapi realitanya juga menghilangkan banyak peran yang dulunya dipegang manusia.
Di Indonesia, tren ini juga mulai terasa. Banyak perusahaan rintisan (startup) dan korporasi besar yang mulai mengadopsi AI dalam operasional mereka. Meski belum sebesar di AS, gelombang otomatisasi ini berpotensi menggeser berbagai profesi dalam beberapa tahun ke depan.
3. Kebijakan Tarif Global Bikin Biaya Operasional Membengkak
Kebijakan tarif global dari pemerintahan Trump juga ikut berkontribusi pada badai PHK. Di sektor ritel dan otomotif, lonjakan biaya bahan baku serta gangguan rantai pasok membuat perusahaan kesulitan menjaga keuntungan. Di sektor ritel saja, lebih dari 80.000 pekerja terkena PHK akibat kombinasi tekanan inflasi, tarif impor, dan ketidakpastian ekonomi.
4. Tekanan Ekonomi dan Biaya Operasional yang Kian Berat
Naiknya harga bahan baku, biaya energi, serta beban operasional lainnya membuat banyak perusahaan kesulitan menjaga keseimbangan neraca keuangan. Banyak organisasi, terutama nonprofit dan usaha kecil, tak mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah atau investor.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Dalam laporan triwulan Kemenaker, disebutkan bahwa UMKM menjadi sektor paling rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Banyak usaha kecil yang terpaksa merumahkan karyawan karena tidak mampu membayar gaji secara berkelanjutan.
5. PHK Besar, Tapi Masih Ada Peluang di Sektor Tertentu
Di tengah badai PHK, sejumlah sektor justru tetap membuka peluang kerja. Di AS, sektor hiburan dan pariwisata mengalami rebound pasca pandemi, dan menyumbang sepertiga dari total rencana perekrutan tahun ini. Sektor asuransi dan otomotif juga mencatatkan rencana rekrutmen yang cukup menjanjikan.
Meski AI sering dituding sebagai biang keladi hilangnya pekerjaan, kenyataannya lebih kompleks. Kebijakan pemerintah, ekonomi global, serta tekanan operasional memiliki peran besar dalam gelombang PHK yang terjadi.
Bagi pekerja, penting untuk terus meningkatkan keterampilan dan adaptif terhadap perubahan. Profesi yang berkaitan dengan kreativitas, kepemimpinan, dan layanan manusia masih sangat dibutuhkan, dan cenderung lebih tahan terhadap disrupsi AI.
Tak hanya itu, work-life balance dan ketahanan mental juga kini menjadi nilai penting dalam memilih profesi ke depan. Dunia kerja sedang berubah cepat, dan siapa yang bisa beradaptasi akan lebih siap menghadapi masa depan.
Halaman Selanjutnya
Awal 2025, Presiden Donald Trump meluncurkan program efisiensi pemerintah yang dikenal sebagai DOGE atau Department of Government Efficiency. Lewat program ini, pemerintah AS menawarkan buyout kepada lebih dari 2 juta pegawai negeri untuk mengundurkan diri secara sukarela. Hasilnya, lebih dari 65.000 pekerja federal menerima tawaran tersebut hanya dalam dua minggu.