Jakarta, VIVA – Selama ini, banyak perusahaan beranggapan bahwa cara paling ampuh mempertahankan karyawan berprestasi adalah dengan menaikkan gaji atau menambah bonus. Namun, anggapan tersebut tak sepenuhnya banr, sejumlah riset global justru menunjukkan bahwa faktor materi bukan lagi alasan utama seseorang bertahan di sebuah perusahaan.
Fenomena ini bukan sekadar keluhan personal atau isu generasi. Berbagai lembaga riset internasional membuktikan bahwa kualitas hubungan antarmanusia di tempat kerja memiliki pengaruh jauh lebih besar terhadap loyalitas karyawan dibandingkan besaran gaji yang diterima setiap bulan.
Salah satu studi paling komprehensif dilakukan oleh MIT Sloan Management Review melalui laporan berjudul “Toxic Culture is Driving the Great Resignation”. Penelitian ini menganalisis data jutaan karyawan dari berbagai sektor.
Hasilnya budaya kerja yang toxic terbukti 10,4 kali lebih berpengaruh terhadap keputusan karyawan untuk keluar dibandingkan faktor kompensasi. Banyak pekerja bahkan rela berpindah ke perusahaan dengan gaji lebih kecil, asalkan mendapatkan ketenangan mental dan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Konflik Rekan Kerja Jadi Pemicu Burnout
Masalah tidak berhenti pada kebijakan manajemen. Hubungan dengan rekan kerja juga memegang peranan krusial. Gallup, dalam laporan State of the Global Workplace, menyebutkan bahwa dukungan sosial di kantor merupakan salah satu penangkal stres kerja paling efektif.
Sebaliknya, riset American Psychological Association dalam Work and Well-being Survey menunjukkan bahwa stres akibat konflik interpersonal, seperti rekan kerja yang gemar menjatuhkan, meremehkan, atau melakukan perundungan, berdampak lebih serius pada kesehatan mental dibandingkan tekanan target atau beban tugas.
Tekanan pekerjaan pada akhirnya memiliki batas waktu. Namun, harus berhadapan dengan rekan kerja yang toxic setiap hari menciptakan tekanan berkepanjangan tanpa kepastian kapan berakhir.
Dampak negatifnya juga terasa langsung bagi perusahaan. Harvard Business Review mencatat bahwa kehadiran satu toxic worker saja dapat menurunkan produktivitas satu tim atau departemen hingga 30 sampai 40 persen. Efeknya menular dan merusak dinamika kerja secara keseluruhan.
Data dari Society for Human Resource Management turut menguatkan temuan tersebut. Budaya kerja yang buruk disebut telah merugikan perusahaan secara global hingga miliaran dolar akibat tingginya biaya rekrutmen untuk mengganti karyawan yang memilih pergi demi kesehatan mental mereka.
Arumi Bachsin Tegaskan Beban Mental Ibu Nyata, Me Time Bukan Egois
Arumi Bachsin menegaskan beban mental ibu itu nyata. Me time bukan sikap egois, melainkan kebutuhan penting untuk menjaga kesehatan mental dan keharmonisan keluarga.
VIVA.co.id
23 Desember 2025

3 hours ago
3









