Jakarta, VIVA – Wacana bekerja empat hari dalam seminggu bukan lagi mimpi. Studi terbaru dari Boston College, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pengurangan jam kerja tanpa pemotongan gaji memberikan dampak positif yang signifikan.
Bukan hanya pada kinerja karyawan, tetapi juga pada kesehatan mental dan kepuasan kerja mereka. Penelitian ini bukan sekadar eksperimen kecil.
Selama enam bulan, para peneliti melibatkan 2.896 pekerja dari 141 organisasi di berbagai negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, Inggris, Irlandia, dan Amerika Serikat. Semua perusahaan tersebut memangkas jam kerja mingguan karyawan mereka minimal delapan jam, tanpa menurunkan upah.
Lalu, apa hasilnya? Ternyata cukup mencengangkan. Berikut penjelasannya seperti dirangkum dari RNZ, Sabtu, 2 Agustus 2025.
1. Burnout Turun, Kesehatan Mental Meningkat
Karyawan yang bekerja hanya empat hari melaporkan penurunan tingkat burnout yang jauh lebih signifikan dibanding mereka yang tetap bekerja lima hari. Selain itu, mereka juga merasakan peningkatan pada kepuasan kerja dan kesehatan mental secara keseluruhan.
Tim peneliti juga mencatat adanya perubahan kecil pada kesehatan fisik, meski belum terlalu mencolok karena biasanya perubahan fisik butuh waktu lebih lama untuk terlihat. Namun secara umum, kesejahteraan emosional para karyawan meningkat secara nyata.
2. Fleksibilitas Kerja Bisa Jadi Kunci Masa Depan
Paula O'Kane dari Business School Universitas Otago mengapresiasi hasil studi ini. Menurutnya, bukti-bukti seperti ini menunjukkan bahwa pemangkasan jam kerja bisa berdampak besar pada kesejahteraan, dan perusahaan seharusnya mulai berpikir lebih fleksibel.
“Walaupun studi ini fokus pada empat hari kerja, implikasinya lebih luas. Fleksibilitas dan pengaturan kerja yang disesuaikan bisa memberikan manfaat serupa,” kata O’Kane.
3. Waktu Kerja Bukan Lagi Ukuran Produktivitas
Selama ini, waktu kerja sering dijadikan indikator produktivitas. Namun, O’Kane menilai paradigma ini perlu diubah. “Karyawan yang cukup istirahat dan sehat justru bisa lebih produktif meskipun bekerja lebih sedikit,” ujarnya.
Ia juga mendorong perusahaan untuk mulai mengukur produktivitas berdasarkan hasil kerja (output), bukan sekadar berapa jam yang dihabiskan di kantor. Menurutnya, penting bagi perusahaan memahami apa saja yang benar-benar ingin dicapai dalam seminggu, alih-alih sekadar mengisi jam kerja.
4. Generasi Muda Menuntut Lebih Banyak Fleksibilitas
O’Kane juga mengamati bahwa generasi muda, khususnya mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri masuk dunia kerja, sudah memiliki ekspektasi berbeda. Mereka ingin fleksibilitas dan tidak ingin terikat dengan struktur kerja tradisional 9-to-5.
“Jika ingin tetap bisa menarik talenta terbaik di masa depan, organisasi harus mulai memikirkan ulang bagaimana mereka menyusun struktur kerja,” katanya.
5. Produktivitas Tidak Turun, Justru Bisa Meningkat
Dr. Dougal Sutherland, psikolog utama di Umbrella Wellbeing, menyatakan bahwa banyak studi menunjukkan produktivitas tetap stabil, bahkan meningkat saat waktu kerja dikurangi menjadi 32 jam per minggu dalam skema empat hari kerja.
Ia juga menekankan bahwa sistem ini mendorong perusahaan untuk lebih efisien dalam memanfaatkan waktu karyawan.
“Kerja empat hari membuat perusahaan lebih serius mengevaluasi produktivitas dan memanfaatkan waktu kerja secara optimal,” ujar Sutherland dalam wawancaranya bersama Morning Report.
Kerja empat hari seminggu bukan hanya soal mengurangi jam kerja. Ini tentang mengubah cara memandang produktivitas dan kesejahteraan.
Studi dari Boston College menegaskan bahwa pendekatan kerja yang lebih fleksibel dan manusiawi bisa menjadi kunci menuju masa depan kerja yang lebih sehat, bahagia, dan tetap produktif.
Halaman Selanjutnya
Tim peneliti juga mencatat adanya perubahan kecil pada kesehatan fisik, meski belum terlalu mencolok karena biasanya perubahan fisik butuh waktu lebih lama untuk terlihat. Namun secara umum, kesejahteraan emosional para karyawan meningkat secara nyata.