Tepat 38 Tahun yang Lalu, 19 Oktober 1987: Tragedi Bintaro jadi Kisah Kelam yang Ubah Keselamatan Kereta Api Indonesia

4 hours ago 2

Jakarta, VIVA – Tepat 38 tahun yang lalu, pada 19 Oktober 1987, Indonesia diguncang oleh salah satu tragedi transportasi paling mengerikan dalam sejarahnya. Dua rangkaian kereta api bertabrakan hebat di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

Tabrakan ‘adu banteng’ antara Kereta Api Patas Merak (KA 220) jurusan Tanah Abang–Merak dan Kereta Api Lokal Rangkasbitung (KA 225) jurusan Rangkasbitung–Jakarta Kota itu menewaskan 139 orang dan melukai lebih dari 250 penumpang. Peristiwa ini menjadi musibah terburuk dalam sejarah perkeretaapian Indonesia dan sempat menyita perhatian dunia.

Kronologi Tabrakan Maut

Berdasarkan catatan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), tragedi terjadi sekitar pukul 07.05 WIB di kilometer 17+252 lintas Angke–Tanah Abang–Rangkasbitung–Merak, tepat di tikungan S kawasan Pondok Betung, Jakarta Selatan.

Pagi itu, KA 225 yang ditarik lokomotif BB306 16 dengan masinis Slamet Suradio berangkat dari Stasiun Sudimara, Tangerang Selatan menuju Stasiun Kebayoran Jakarta. Di saat yang hampir bersamaan, KA 220 dengan lokomotif BB303 16 yang dikemudikan Amung Sunarya juga diberangkatkan dari arah Kebayoran menuju Merak.

Seharusnya kedua kereta bersilang di Stasiun Sudimara, namun karena kesalahan komunikasi antar petugas, keduanya justru melaju di jalur tunggal yang sama. Saat menyadari ada kereta dari arah berlawanan, kedua masinis sudah menarik rem darurat, namun jarak terlalu dekat. Benturan keras pun tak terhindarkan.

Kesalahan Fatal dalam Komunikasi

Investigasi PJKA menyebut penyebab utama tragedi ini adalah kelalaian petugas Stasiun Sudimara. Petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) di stasiun tersebut memberi sinyal aman kepada KA 225 tanpa izin dari PPKA Kebayoran.

Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang seharusnya dikonfirmasi ke stasiun berikutnya, justru diserahkan langsung kepada masinis tanpa komunikasi lanjutan. Di sisi lain, petugas Kebayoran mengira bahwa KA 225 masih menunggu di Sudimara, sehingga mereka juga memberi izin berangkat kepada KA 220.

Kesalahan prosedur itu membuat dua rangkaian kereta melaju saling berhadapan di jalur tunggal hingga akhirnya bertabrakan keras.

Korban dan Kerugian

Benturan dua lokomotif tersebut menghancurkan gerbong paling depan. Banyak penumpang terjepit di antara besi-besi gerbong yang ringsek. Proses evakuasi dilakukan selama berhari-hari oleh warga, petugas pemadam kebakaran, serta aparat TNI dan Polri.

PJKA mencatat 139 korban tewas, 72 di antaranya meninggal di lokasi kejadian, sementara sisanya meninggal saat dirawat di rumah sakit. Sebanyak 254 penumpang luka-luka, terdiri atas 170 luka berat dan 84 luka ringan. Kerugian material diperkirakan mencapai Rp1,9 miliar merupakan jumlah besar untuk ukuran tahun 1987.

Versi Masinis Slamet Suradio

Slamet Suradio (74), masinis kereta tragedi Bintaro I.

Photo :

  • balai-yasa.blogspot

Masinis KA 225, Slamet Suradio, kemudian menjadi sosok paling disorot. Dalam investigasi PJKA, Slamet disebut memberangkatkan keretanya tanpa izin resmi. Namun, dalam kesaksiannya di pengadilan, Slamet menegaskan bahwa dirinya hanya menjalankan instruksi petugas PPKA Sudimara dan membawa Surat PTP yang sah.

Ia juga membantah tuduhan bahwa dirinya melompat dari lokomotif sesaat sebelum tabrakan. Dalam pengakuannya, Slamet mengatakan bahwa ia tergencet badan lokomotif dan bersimbah darah, hingga akhirnya diselamatkan warga. Slamet sempat menunjukkan dokumen PTP yang berlumuran darah sebagai bukti bahwa ia tidak meninggalkan posnya.

Hukuman bagi Para Petugas

Pengadilan memvonis Slamet Suradio lima tahun penjara dan memecatnya dari pekerjaannya sebagai masinis. Ia kemudian mendapat remisi dan bebas setelah menjalani 3,5 tahun hukuman di Lapas Cipinang. Setelah bebas, Slamet hidup sederhana dan bekerja sebagai pedagang rokok, tanpa mendapat uang pensiun.

Kondektur Adung Syafei dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara, sedangkan dua petugas PPKA, Djamhari dan Umriyadi, masing-masing dijatuhi 10 bulan penjara. 

Dampak dan Perubahan Sistem

Tragedi Bintaro 1987 menjadi titik balik besar dalam sistem keselamatan perkeretaapian Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap manajemen operasional, serta mulai merancang proyek jalur ganda (double track) untuk menghindari risiko tabrakan di jalur tunggal.

Selain itu, tragedi ini juga memicu perubahan besar dalam sistem komunikasi antarstasiun, dari manual menjadi berbasis sinyal elektrik yang lebih aman.

Tragedi Bintaro pun diabadikan dalam film “Tragedi Bintaro” (1989) dengan menggambarkan kepanikan, duka, dan semangat kemanusiaan para relawan yang membantu evakuasi korban.

Kini, kawasan tempat terjadinya tabrakan telah berubah menjadi wilayah padat dan modern di Kota Tangerang Selatan. Namun, memori kelam 19 Oktober 1987 tetap hidup dalam ingatan bangsa sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya disiplin, koordinasi, dan tanggung jawab dalam sistem transportasi publik.

Kereta milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) [Humas PT KAI]

Kolaborasi KAI dan UNS Dorong Generasi Muda Berinovasi di Bidang Transportasi

Kereta api tak hanya menjadi sarana transportasi massal, tetapi juga bagian dari inovasi teknologi dan layanan publik yang berkelanjutan.

img_title

VIVA.co.id

22 September 2025

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |