Jakarta, VIVA – Eksponen gerakan mahasiswa 1998 Yogyakarta, Haris Rusly Moti mengatakan, revisi UU TNI tidak menyalahi semangat reformasi. Menurutnya, dalam RUU tersebut hanya mengatur penugasan TNI di wilayah jabatan operasional profesional kementerian/lembaga.
Haris pun menghormati partisipasi publik dalam mengkritisi dan memberi masukan untuk menyempurnakan revisi UU TNI dan Polri. Ia menyatakan, sikap kritis ini mesti diletakan dalam pijakan dan arah yang sejalan dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pancasila dan UUD 1945.
"Saya menilai salah satu ciri supremasi sipil yang tampak di depan dengkul dan jidat kita adalah ketika revisi UU TNI dilakukan oleh lembaga tinggi negara, DPR, yang merupakan representasi kehendak sipil. Anggota DPR nya berasal dari banyak Parpol dan Parpol adalah organisasi politik sipil," katanya.
VIVA Militer : Prajurit Marinir TNI AL (Ilustrasi)
Photo :
- Dispen Kormar TNI AL
Lebih lanjut, ia mengatakan, TNI tak lagi mempunyai fungsi sosial dan politik, TNI tidak lagi mempunyai kewenangan terlibat langsung membuat peraturan yang mengatur dirinya sendiri seperti di era Orde Baru.
"TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan terkait revisi UU yang mengatur dirinya. TNI hanya menjadi pelaksana dari UU yang dibuat dan diputuskan oleh lembaga tinggi negara, DPR," ucapnya.
Sepanjang era reformasi, katanya, TNI membuktikan dirinya tunduk pada keputusan lembaga negara yang dikendalikan oleh sipil. Kenyataan itu menunjukan bahwa supremasi sipil bahkan tampak nyata di depan jidat dan dengkul ketika sedang berlangsung revisi UU TNI.
Haris menambahkan, jika diperhatikan berbeda dengan era Orde Baru, melalui peran sosial politik (Sospol) ABRI, ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI.
Ketika itu disebut dwi fungsi ABRI lantaran selain berfungsi sebagai institusi pertahanan negara, ABRI juga berfungsi sebagai kekuatan sosial dan politik, menjadi dinamisator dan stabilisator politik, menjadi konduktor dan terlibat langsung dalam membuat keputusan politik kenegaraan di lembaga tinggi dan tertinggi negar, termasuk keputusan yang mengatur tugas pokok dan fungsi ABRI.
"BegItulah era supremasi militer, di mana kekuatan sipil tunduk diatur secara sosial dan politik oleh militer. Sementara saat ini ada Pilkada, Pilpres dan Pileg langsung, di mana institusi sipil seperti Parpol yang memainkan peran sentral," katanya.
Atas hal tersebut, ia pun menyebut salah kaprah jika revisi UU TNI dikaitkan dengan dwi fungsi ABRI rebound. Sebab menurutnya revisi UU TNI sama sekali tidak bertentangan dengan semangat reformasi, tidak mengembalikan peran sospol TNI. "Omong kosong tuduhan militerisme rebound yang distempel ke dalam naskah revisi UU TNI," tegasnya.
Oleh karena itu, menurutnya, mereka yang mengobarkan ketakutan dan trauma terkait ancaman militerisme atau dwi fungsi rebound tidak memiliki alas teori yang kuat, persis si bolang ngelantur di siang bolong.
Haris menuturkan, jika diperhatikan revisi UU TNI hanya mengatur terkait penugasan perwira TNI di wilayah operasional kementerian dan lembaga negara, yang membutuhkan profesionalitas dan keahlian khusus perwira TNI.
Hal ini sangat meritokrasi karena yang ditugaskan adalah perwira profesional yang mempunyai kapasitas dan keahlian yang dibutuhkan oleh kementerian dan lembaga.
Perlu dicatat perwira-perwira TNI tersebut disekolahkan dengan biaya oleh negara, mestinya negara dapat memaksimalkan keahliannya untuk terlibat memajukan kesejahteraan rakyat.
Perlu juga diperhatikan jabatan-jabatan operasional di kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh perwira TNI, tidak mutlak diisi oleh perwira TNI. Semuanya tergantung pimpinan yang menggunakannya apakah TNI, Polri atau sipil kewenangan pengangkatannya ada pada pimpinan yang menggunakannya.
"Bahkan ketika menugaskan prajurit TNI di wilayah operasional di kementerian dan lembaga tersebut juga dilakukan oleh lembaga negara non militer dan dalam pengawasan institusi sipil," katanya.
Ia pun menuturkan, jika diperhatikan sebelum dilakukan revisi UU TNI, perwira TNI sudah sering kali ditugaskan di jabatan prifesional operasional kementerian dan lembaga untuk tujuan membantu jalan program pembangunanan.
Sebagai contoh di saat pandemi Covid, Letjend. Doni Monardo (almarhum) yang saat itu menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ditunjuk jadi Kepala Satgas Covid.
Jenderal Doni adalah tentara aktif yang memimpin menggerakan seluruh jajaran TNI dan Polri dalam penangan Covid. Seluruh rakyat diperintah mengunci diri di dalam rumah, hanya prajurit TNI, Polri dan petugas kesehatan yang ditugas menantang maut.
Jenderal Doni diangkat dan tunduk pada keputusan Presiden RI, pejabat sipil. Jadi menurutnya, revisi UU TNI dilakukan agar penempatan perwira TNI yang dibutuhkan kapasitas dan keahliannya, terutama yang terkait dengan pertahanan negara, mempunyai landasan hukum atau tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kita patut menudukung pengisian jabatan profesional dan operasional di kementerian dan lembaga oleh perwira profesional TNI.
"Saya memaklumi penyakit bawaan aktivis LSM yang cara berpikirnya cenderung dikotomis dan parsial dalam melihat tata kelola negara. Padahal negara itu sebuah sistem yang berdiri di atas banyak aspek, unsur dan elemen yang saling menopang secara kompatibel antar satu dengan yang lainya. Mestinya kita mulai belajar mempertimbangkan multi aspek, selain soal demokrasi dan hak hak sipil, ada aspek pertahanan dan keamanan yang juga menopang sebuah negara dapat bertahan, juga patut menjadi pertimbangan dalam mengkritisi tata kelola negara," ucapnya.
Revolusi digital, lanjutnya, mengajarkan pada apa yang disebut sebagai kolaborasi. Dan kolaborasi kolaborasi, integrasi dan kosentrasi dari dan oleh semua kekuatan bangsa dibutuhkan dalam mewujudkan sebuah gagasan bersama, membangun Indonesia menjadi negara maju, agar tidak terus menerus menjadi bangsa inlander yang dicucuk hidungnya persis kebo oleh lembaga donor asing.
"Go ahed revisi UU TNI, lanjut terus, kita dukung. Revisi UU TNI yang menempatkan perwira TNI di jabatan profesional dan operasional kementerian dan lembaga tidak mengancam supremasi sipil dan tidak bertentangan demokrasi," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Haris menambahkan, jika diperhatikan berbeda dengan era Orde Baru, melalui peran sosial politik (Sospol) ABRI, ada jabatan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI.