Hubungan RI–RRT 75 Tahun: Antara Peluang Investasi dan Bayang-Bayang Banjir Impor Murah

4 hours ago 5

Sabtu, 1 November 2025 - 20:54 WIB

Jakarta, VIVA – Menjelang genap 75 tahun hubungan Indonesia – Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2025, relasi kedua negara terlihat mesra. Namun di balik itu, masih tersimpan daftar pekerjaan rumah yang berat: bukan hanya soal keamanan di Laut China Selatan dan tumpang tindih ZEE, tetapi terutama tekanan ekonomi yang makin nyata.

Kekhawatiran ini tergambar dalam seminar “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia” di Kampus Pascasarjana Paramadina, yang digagas PAPI, FSI, dan IPTI.

Ketua FSI Johanes Herlijanto mengingatkan bahwa banjir produk murah asal China bukan sekadar soal harga. Ia menekankan bahwa efeknya adalah erosi kemandirian bangsa.

“Kehadiran barang dari China dengan harga yang sangat kompetitif bukan hanya berdampak pada industri lokal, tetapi juga pada potensi ketergantungan masyarakat Indonesia pada barang asal China,” ujarnya, dikutip dari keterangan resmi, Sabtu 1 November 2025.

Direktur PAPI, Peni Hanggraini, mengajak publik untuk meninjau ulang relasi RI–RRT, bahkan dengan perspektif historis. Ia merujuk pada pelayaran armada Laksamana Zheng He.

“Dulu hubungan ini terjalin melalui pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah serta budaya; kini telah berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi,” tegasnya.

Di sisi teknis, ekonom UI Mohammad Dian Revindo memetakan bagaimana China menjaga harga produknya tetap rendah. Salah satu faktor, kata dia, adalah strategi moneter.

“Tiongkok menahan apresiasi RMB melalui intervensi pasar dan akumulasi devisa besar, menjaga harga ekspor tetap rendah dan daya saing global tinggi,” ujarnya. Ia juga secara gamblang menyinggung praktik dumping pada garmen hingga kaca: “China menerapkan praktik dumping dengan menetapkan harga rendah.”

Bagi pemerintah RI, tantangan tak hanya terkait tekanan harga di marketplace — yang kini didominasi platform asing — tapi juga pada struktur industri. Di sisi ini, Kemenperin menekankan bahwa transformasi berbasis nikel Morowali menjadi contoh sinergi investasi. Namun angka dagang tetap timpang.

“Pada 2024, ekspor Indonesia ke China mencapai 62,44 miliar USD, sedangkan impor 72,73 miliar USD,” papar Laode Ikrar Hastomi.

Halaman Selanjutnya

Menariknya, suara pemuda Tionghoa Indonesia juga tegas. Septeven Hwang dari IPTI menutup: “Secara etnis kita Tionghoa, tapi nasionalisme kita adalah Indonesia.”

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |