Jakarta, VIVA – Polri kembali memperkuat penyusunan model pelayanan unjuk rasa dengan pendekatan berbasis HAM dan standar internasional.
Pembaruan ini dilakukan sebagai upaya modernisasi pengamanan aksi massa agar lebih humanis, profesional, dan selaras dengan praktik terbaik (best practice) negara-negara maju.
Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, menegaskan bahwa pengelolaan aksi unjuk rasa di Indonesia harus menyesuaikan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 sekaligus memenuhi standar global dalam perlindungan kebebasan berekspresi.
“Model pelayanan terhadap pengunjuk rasa harus kita rumuskan ulang, tidak hanya berdasarkan kondisi dalam negeri, tetapi juga mengacu pada standar HAM internasional. Kita belajar dari negara-negara yang sudah lebih maju dalam pengelolaan kebebasan berpendapat di ruang publik,” ujar dia, dikutip, Kamis, 27 November 2025.
Pada Januari mendatang, Polri dijadwalkan melakukan studi komparatif ke Inggris. Negara tersebut dinilai memiliki standardisasi pengendalian massa yang modern dan akuntabel melalui Code of Conduct yang membagi penanganan unjuk rasa ke dalam lima tahap, mulai analisis awal, penilaian risiko, pencegahan, tindakan lapangan, hingga konsolidasi.
“Inggris memiliki pendekatan modern, terstruktur, dan berbasis HAM. Code of Conduct mereka menjelaskan dengan rinci apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ini sangat relevan untuk meningkatkan kualitas pelayanan Polri terhadap pengunjuk rasa,” tutur Wakapolri.
Penyusunan model baru ini tidak dilakukan secara tertutup. Polri menggandeng akademisi, pakar, hingga koalisi masyarakat sipil untuk memastikan prosesnya inklusif dan sesuai prinsip demokrasi.
Termasuk di dalamnya asesmen terhadap kemampuan evaluasi dan pengambilan keputusan para komandan di lapangan. Perubahan internal juga terus berlangsung.
Sistem pengendalian massa yang sebelumnya terdiri dari 38 tahapan kini disederhanakan menjadi lima fase utama. Penyederhanaan ini disinkronkan dengan enam tahapan penggunaan kekuatan berdasarkan Perkap No. 1 Tahun 2009 dan standar HAM dalam Perkap No. 8 Tahun 2009.
Wakapolri menegaskan pentingnya evaluasi berkelanjutan sebagai bagian dari standar internasional.
“Setiap tindakan dalam lima tahap harus dievaluasi, mulai dari progres hingga dampaknya. Ini sejalan dengan prinsip accountability dalam standar HAM global. Polri harus berani berubah, memperbaiki, dan beradaptasi,” ucap dia.
Halaman Selanjutnya
Lebih jauh, Komjen Dedi menekankan bahwa transformasi organisasi tidak dapat bergantung pada pengalaman semata.

4 weeks ago
9









