VIVA – Penelitian terbaru dari tim dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Brawijaya (UB) Malang menyoroti pentingnya kemitraan strategis sebagai fondasi untuk memastikan manfaat hilirisasi mineral dirasakan secara luas oleh masyarakat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dalam laporan berjudul Laporan Akhir Membangun Kemitraan Antara Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan untuk Optimalisasi Manfaat Hilirisasi, peneliti utama Hendi Subandi menyoroti keberhasilan model kemitraan di beberapa wilayah sebagai contoh nyata dampak positif hilirisasi.
Di Gresik, PT Freeport Indonesia (PT FI) berhasil melibatkan masyarakat lokal melalui forum komunikasi "Rembuk Akur," yang memfasilitasi perekrutan tenaga kerja. Forum ini menciptakan peluang kerja bagi masyarakat dari sembilan desa Ring 1, serta mendukung pemberdayaan UMKM lokal yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa pendukung industri. UMKM lokal juga diberdayakan untuk menyediakan kebutuhan logistik perusahaan, seperti seragam batik khas Gresik untuk karyawan PT FI.
Di Mempawah, PT Borneo Alumina Indonesia (PT BAI) membuka peluang usaha baru bagi masyarakat lokal melalui kemitraan strategis. Inisiatif ini melibatkan pengembangan UMKM di sektor pendukung seperti warung makan, penyewaan kos-kosan, dan toko kebutuhan sehari-hari, yang memberikan dampak ekonomi signifikan bagi komunitas lokal.
“Hilirisasi memberikan dampak positif yang luas. Dengan kemitraan yang melibatkan berbagai aktor, manfaatnya dapat dirasakan secara inklusif oleh masyarakat lokal,” ungkap Hendi.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kebutuhan kemitraan berubah sesuai dengan tahapan perkembangan industri. Pada fase awal, fokus utama adalah pembangunan infrastruktur sosial seperti sekolah dan fasilitas kesehatan untuk mendukung masyarakat. Seiring berkembangnya industri, fokus bergeser ke pelibatan UMKM lokal dalam rantai pasok serta pengembangan keterampilan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan industri hilirisasi.
Pada tahap industri yang telah mapan, kolaborasi lebih diarahkan pada pemberian bantuan permodalan kepada UMKM, pengembangan desa binaan, serta integrasi UMKM dalam rantai pasok utama perusahaan. Hal ini memastikan bahwa masyarakat lokal tetap mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan industri hilirisasi.
Meski demikian, Hendi mengungkap tantangan dalam pelaksanaan model kemitraan. Salah satu kendala adalah kurangnya aturan turunan terkait regulasi kemitraan di tingkat daerah. Selain itu, keterlibatan akademisi dan NGO untuk mendampingi masyarakat lokal masih minim. Media juga dinilai perlu memperkuat narasi positif tentang manfaat hilirisasi untuk mendukung edukasi masyarakat.
Hendi bersama tim merekomendasikan penguatan regulasi daerah yang mendukung pola kemitraan, kolaborasi dengan akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan keterampilan, serta koordinasi yang lebih baik dengan NGO. Media juga diharapkan berperan sebagai jembatan edukasi bagi masyarakat agar memahami manfaat hilirisasi terhadap perekonomian lokal dan nasional.
“Dengan melibatkan berbagai aktor dalam model kemitraan hexahelix, hilirisasi dapat menciptakan ekosistem yang inklusif dan berkelanjutan, memberikan dampak positif yang nyata bagi masyarakat lokal,” tambah Hendi.
Penelitian ini menjadi panduan penting bagi pemerintah, perusahaan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperkuat pola kemitraan di sektor hilirisasi, menciptakan ekonomi yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Halaman Selanjutnya
Hendi bersama tim merekomendasikan penguatan regulasi daerah yang mendukung pola kemitraan, kolaborasi dengan akademisi untuk menyusun kurikulum pelatihan keterampilan, serta koordinasi yang lebih baik dengan NGO. Media juga diharapkan berperan sebagai jembatan edukasi bagi masyarakat agar memahami manfaat hilirisasi terhadap perekonomian lokal dan nasional.