VIVA – Presiden Prabowo dalam Asta Citanya menegaskan bahwa kedaulatan pangan merupakan pilar utama dalam menciptakan ketahanan nasional. Kedaulatan pangan bukan sekadar swasembada, melainkan upaya besar untuk menciptakan sistem pangan yang mandiri, berkelanjutan, dan tahan terhadap berbagai ancaman global, termasuk mengurangi ketergantungan impor. Tantangan yang dihadapi, seperti konversi lahan, perubahan iklim, dan ketergantungan impor, dapat diatasi melalui inovasi teknologi, pemanfaatan lahan suboptimal, dan kolaborasi lintas sektor.
Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah konversi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri. Perubahan fungsi lahan ini mengakibatkan berkurangnya lahan produktif untuk kegiatan pertanian. Untuk mengatasi hal tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan) telah meluncurkan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan. Program ini mencakup perluasan areal tanam melalui pompanisasi, optimasi lahan rawa, tumpang sisip padi gogo, dan pencetakan sawah baru. Upaya ini dilakukan secara terintegrasi dengan memanfaatkan lahan suboptimal, seperti lahan rawa dan lahan kering, untuk meningkatkan produksi pertanian.
Strategi Optimalisasi Lahan Rawa
Optimasi lahan rawa menjadi salah satu solusi strategis dalam mendukung kedaulatan pangan. Lahan rawa yang tersebar di 12 provinsi dimanfaatkan melalui perbaikan prasarana air, sehingga indeks pertanaman (IP) dapat ditingkatkan dari IP100 menjadi IP200. Program tumpang sisip padi gogo juga diterapkan dengan menanam padi di antara tanaman perkebunan, seperti kelapa sawit yang belum menghasilkan. Potensi lahan rawa ini cukup besar, dengan data dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 3,5 juta hektare lahan rawa pasang surut dan 11 juta hektare lahan rawa lebak di wilayah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung.
Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian. Fenomena kemarau panjang dan intensitas curah hujan yang ekstrem dapat mengganggu pola tanam dan produksi pangan nasional. Musim kemarau yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan kekeringan dan gagal panen, sedangkan curah hujan yang tinggi dapat meningkatkan risiko serangan hama dan penyakit tanaman. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah mengembangkan program adaptasi berbasis teknologi. Langkah strategis yang dilakukan meliputi pengelolaan pola tanam berbasis iklim, penggunaan varietas tanaman tahan cuaca ekstrem, dan pengelolaan lahan berbasis konservasi. Selain itu, pemerintah memperkuat pendampingan kepada petani agar mereka dapat beradaptasi dan tetap produktif sepanjang tahun.
Mewujudkan Negara Lumbung Pangan
Indonesia telah mencatat keberhasilan swasembada beras pada era Presiden Soeharto tahun 1984 serta pada era Presiden Jokowi tahun 2017, 2019, 2020, dan 2021. Prestasi ini membuktikan bahwa cita-cita kedaulatan pangan bukanlah hal mustahil. Bahkan, upaya swasembada yang berkelanjutan bertujuan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Beberapa komoditas strategis, seperti beras, jagung, kelapa sawit, dan produk hortikultura, telah diekspor ke pasar internasional. Keberhasilan ini memicu optimisme bahwa Indonesia dapat menjadi pemain kunci dalam sistem pangan global.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan posisi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi riset, sektor swasta, dan masyarakat harus bersinergi dalam pengelolaan sumber daya pangan. Penggunaan teknologi digital, seperti smart farming, sistem informasi geospasial, dan pemanfaatan big data, memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi rantai pasok pangan. Penguatan kelembagaan, perlindungan harga pembelian pemerintah (HPP), dan pengembangan sistem logistik pangan yang efisien juga menjadi langkah strategis dalam mendukung kedaulatan pangan nasional.
Transformasi pertanian menuju era modern dan berkelanjutan membutuhkan revolusi hayati (biorevolution) sebagai pengganti Revolusi Hijau. Jika Revolusi Hijau bergantung pada penggunaan pupuk dan pestisida kimia, Revolusi Hayati mengedepankan pemanfaatan bioteknologi. Melalui bioteknologi, Indonesia dapat mengembangkan benih unggul yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan hama. Teknologi mikroba juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kesuburan tanah secara alami dan mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Selain itu, pengolahan biomassa menjadi bioenergi dan produk berbasis bioekonomi menawarkan diversifikasi yang menjanjikan bagi sektor pertanian nasional.
Modernisasi dan Hilirisasi Pertanian
Modernisasi pertanian adalah jalan strategis menuju kedaulatan pangan sekaligus solusi jangka panjang dalam menciptakan kesejahteraan rakyat. Modernisasi ini melibatkan penggunaan teknologi pertanian presisi, drone, kecerdasan buatan (AI), dan Internet of Things (IoT). Selain itu, penguatan infrastruktur logistik, seperti fasilitas penyimpanan dingin dan digitalisasi rantai pasok, menjadi kebutuhan mendesak. Hilirisasi produk pertanian, seperti pengolahan bioenergi, bioplastik, dan produk berbasis farmasi, juga memberikan nilai tambah yang signifikan bagi sektor ini.
Saat ini, pembangunan pertanian di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Produktivitas padi, jagung, dan kedelai nasional masih stagnan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produktivitas padi pada 2023 rata-rata mencapai 5,2 ton per hektare, masih tertinggal dari Vietnam dan Thailand. Tantangan lainnya adalah tingginya ketergantungan impor pakan ternak dan ketidakefisienan rantai pasok hortikultura. Namun, di balik tantangan tersebut, ada peluang besar untuk mengoptimalkan sektor bioekonomi, memanfaatkan kekayaan sumber daya alam, dan mengintegrasikan inovasi teknologi.
Untuk mencapai pertanian modern yang berkelanjutan, Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti Belanda, Jepang, dan Australia. Reformasi kebijakan pertanian yang berfokus pada keberlanjutan, pemberian insentif kepada petani, serta dukungan terhadap inovasi teknologi menjadi langkah awal. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas petani juga perlu diperkuat. Peningkatan akses teknologi melalui pertanian presisi berbasis drone, IoT, dan AI harus diperkenalkan secara luas kepada petani. Selain itu, penguatan koperasi pertanian dan pembangunan infrastruktur logistik, seperti fasilitas penyimpanan dingin dan transportasi hasil panen, sangat diperlukan. Diversifikasi produk dan hilirisasi hasil panen dapat menciptakan nilai tambah dan memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.
Dengan semangat kerja keras, inovasi, dan kolaborasi, Indonesia berpeluang tidak hanya meraih swasembada pangan, tetapi juga menjadi lumbung pangan dunia. Keberhasilan ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen bangsa serta kebijakan yang proaktif dari pemerintah.
Halaman Selanjutnya
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan dalam mewujudkan kedaulatan pangan dan posisi Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, institusi riset, sektor swasta, dan masyarakat harus bersinergi dalam pengelolaan sumber daya pangan. Penggunaan teknologi digital, seperti smart farming, sistem informasi geospasial, dan pemanfaatan big data, memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi rantai pasok pangan. Penguatan kelembagaan, perlindungan harga pembelian pemerintah (HPP), dan pengembangan sistem logistik pangan yang efisien juga menjadi langkah strategis dalam mendukung kedaulatan pangan nasional.
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.