Jakarta, VIVA – Wakil Ketua Komisi XI DPR, Dolfie Othniel Frederic, mencecar pertanyaan kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, perihal kerap tidak tercapainya realisasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Dalam debat panas yang terjadi di Rapat Kerja Komisi XI DPR bersama Menteri Keuangan itu, Sri Mulyani pun menegaskan bahwa perhitungan 20 persen untuk anggaran pendidikan tidak bisa dilihat secara kaku, karena komponen belanja negara yang dijadikan pembagi (denominator) terus bergerak.
Menkeu menjelaskan, terdapat alokasi anggaran pendidikan dalam bentuk cadangan, yang masuk ke dalam skema pembiayaan dan bukannya skema belanja langsung.
"Jadi kalau bicara tentang by design Pak Dolfie, kami mendesainnya waktu RUU APBN itu 20 persen. By default, jadinya tergantung dari beberapa komponen karena pembaginya itu bergerak," kata Sri Mulyani dalam Raker Komisi XI DPR, Selasa, 22 Juli 2025.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI
Photo :
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Meski demikian, Dolfie seakan belum puas dan menambahkan bahwa cadangan dana pendidikan yang ditempatkan di pos pembiayaan, cenderung tidak direalisasikan dan justru berkontribusi terhadap peningkatan utang negara.
"Kalau Rp 80 triliun itu digunakan untuk memperkuat pendidikan kita, itu kan sangat dahsyat. Tapi kalau masih tidak terpenuhi lagi 20 persen, berarti kan ada sesuatu," kata Dolfie.
Menanggapinya, Sri Mulyani pun membeberkan alasan kenapa sebagian anggaran pendidikan ditaruh di segmen pembiayaan. Tujuannya yakni untuk menjaga efisiensi dan kualitas belanja.
"Waktu itu sudah mendekati September 2024 dan kita belum mencapai 20 persen. Maka diberikanlah Kementerian/Lembaga itu belanja tambahan di bulan Oktober. Nah, Rp 80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa, Pak? Itu juga masalahnya," kata Sri Mulyani.
Menkeu mengungkapkan, alasan di balik kebijakan ini adalah demi menjaga kualitas belanja pemerintah, supaya tidak sekadar menghabiskan anggaran di akhir tahun untuk hal-hal yang sebenarnya tidak mendesak. Dia bahkan memberikan gambaran soal adanya potensi dampak negatif, apabila alokasi anggaran pendidikan dipaksakan untuk dihabiskan demi memenuhi target 20 persen.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati
Photo :
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Sri Mulyani pun mencontohkan fenomena di masa lalu, dimana sekolah-sekolah justru membelanjakan anggaran pendidikan yang mereka terima untuk hal yang tidak mendesak. Misalnya seperti untuk mengganti pagar yang sebenarnya masih layak, hanya demi melakukan penyerapan anggaran.
Menurutnya, praktik seperti itu jelas bertentangan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, dan kepatutan dalam pengelolaan anggaran. Dia menegaskan, langkah membelanjakan puluhan triliun rupiah dalam waktu singkat di akhir tahun anggaran, merupakan cara yang tidak sehat dan bertanggung jawab.
Karenanya, Menkeu memastikan bahwa pihaknya akan terus berupaya menyeimbangkan, antara kewajiban konstitusional memenuhi 20 persen anggaran pendidikan sekaligus berupaya menjaga kualitas serta tata kelola belanja. Menurutnya, mekanisme penganggaran juga harus dikaji secara matang, supaya tidak hanya memenuhi unsur angka melainkan juga membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas.
"Jadi memang ini mekanismenya. Karena kami juga berpikir terus tentang bagaimana di satu sisi mengikuti undang-undang dasar, dan di sisi lain Pak Dolfie minta kualitas belanjanya harus bagus, tata kelola bagus, dan segala macamnya efisien," ujarnya.
Halaman Selanjutnya
"Waktu itu sudah mendekati September 2024 dan kita belum mencapai 20 persen. Maka diberikanlah Kementerian/Lembaga itu belanja tambahan di bulan Oktober. Nah, Rp 80 triliun mau dibelanjakan habis jadi apa, Pak? Itu juga masalahnya," kata Sri Mulyani.