New York, VIVA – Sejumlah negara Barat telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, menyusul pengumuman Prancis, Kanada, Belgia, Portugal, Australia dan Inggris jelang Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Senin, 22 September 2025, sebagai upaya menekan Israel agar mengakhiri perang Gaza dan memulai proses perdamaian baru.
Meski negara-negara Barat – sebagian besarnya dari Benua Biru, Jerman masih belum bersedia dengan lantang mengakui negara Palestina. Walaupun, Berlin mendukung pembentukan negara Palestina, namun setidaknya tidak untuk saat ini.
"[Pembentukan] Negara Palestina adalah tujuan kami. Kami mendukung solusi dua negara. Tidak ada jalan lain," kata Menteri Luar Negeri Johann Wadephul di Berlin menjelang kehadirannya di Sidang Majelis Umum PBB ke-80 di New York.
"Namun, hal ini harus dicapai melalui perundingan. Tidak ada yang boleh memaksakan diri 'menembus tembok' pada saat ini," katanya, menambahkan.
Wadephul mengatakan jalan menuju pemahaman, rekonsiliasi, dan perundingan "sulit dan panjang, tetapi Federal Jerman mendukung hal itu"
"Betapapun jauhnya saat ini, solusi dua negara yang dinegosiasikan adalah jalan yang dapat memungkinkan warga Israel dan Palestina hidup dalam damai, aman, dan bermartabat," kata dia.
Sebelumnya, Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal secara resmi mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Negara-negara lain, termasuk Prancis, Malta, dan Luksemburg, diperkirakan akan mengikuti langkah serupa pada Sidang Majelis Umum PBB pekan ini.
Para pemimpin negara juga dijadwalkan untuk menghadiri konferensi internasional tentang penyelesaian damai konflik Israel-Palestina dan implementasi solusi dua negara.
Wadephul juga memperingatkan Israel untuk tidak melakukan aneksasi terhadap wilayah pendudukan Palestina.
"Yang dibutuhkan kawasan itu sekarang adalah gencatan senjata segera, bantuan kemanusiaan yang jauh lebih besar bagi rakyat Gaza, serta pembebasan segera dan tanpa syarat para sandera (Israel)," katanya.
Solusi Dua Negara
Pemerintah Jerman sepertinya tidak akan mengambil langkah ini "dalam jangka pendek," sebagaimana dinyatakan secara resmi. "Kami tidak akan bergabung dengan inisiatif ini," kata Kanselir Friedrich Merz dari partai yang berkuasa, Uni Demokratik Kristen (CDU), pada bulan Agustus ketika Perdana Menteri Kanada Mark Carney berkunjung.
Namun, alasan Merz agak formal. "Kami tidak menganggap syarat-syarat pengakuan negara terpenuhi dengan cara apa pun saat ini. Pengakuan harus menjadi langkah terakhir dalam proses perdamaian yang menghasilkan solusi dua negara," ujarnya.
Kesulitannya adalah solusi dua negara belum terlihat. Peluang berdirinya negara Palestina yang merdeka berdampingan dengan Israel tampaknya praktis telah berkurang menjadi nol sejak awal perang di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan sekitar 65.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza yang dipimpin Hamas.
Oleh karena itu, para kritikus berpendapat bahwa pemerintah Jerman hanya mengajukan prasyarat pengakuan yang tidak realistis ini untuk menghindari pengambilan keputusan.
Pemerintah Jerman menghadapi dilema khusus terkait Israel dan negara Palestina. Akibat pembunuhan 6 juta orang Yahudi selama era Nazi, Berlin merasa bertanggung jawab khusus atas keamanan Israel dan bahkan menyatakan hal ini sebagai masalah "akal sehat negara".
Bagi kanselir Jerman, ini jelas bukan sekadar retorika kosong. Sebelumnya pada bulan September, dalam pidato pembukaan kembali sebuah sinagoge di München yang telah dihancurkan oleh Nazi, Merz menahan tangis sambil berkata:
"Sejak 7 Oktober, kita telah mengalami gelombang baru antisemitisme, dengan kedok lama dan baru, terang-terangan dan kurang disembunyikan, dalam kata-kata dan perbuatan, di media sosial, di universitas, di ruang publik. Saya ingin memberi tahu Anda betapa malunya saya atas hal ini, sebagai kanselir Republik Federal Jerman, tetapi juga sebagai orang Jerman, sebagai anak dari generasi pascaperang, seorang anak yang tumbuh dengan motto 'Jangan pernah lagi' sebagai misi, tugas, dan janji."
Meski demikian, Merz telah mencoba memisahkan perjuangan melawan antisemitisme dari penilaiannya terhadap kebijakan Israel dan, terutama, dari tindakan militer Israel di Gaza.
Ia mengkritik tajam tindakan militer Israel dan bencana kemanusiaan yang diakibatkannya, dan pada musim panas menghentikan semua ekspor senjata ke Israel yang dapat digunakan dalam perang Gaza.
Dalam upacara peringatan 75 tahun berdirinya Dewan Pusat Yahudi di Jerman, Merz mengatakan, "Kritik terhadap kebijakan pemerintah Israel harus dimungkinkan; bahkan mungkin diperlukan. Perbedaan pendapat dalam masalah ini bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap persahabatan kita."
Halaman Selanjutnya
"Yang dibutuhkan kawasan itu sekarang adalah gencatan senjata segera, bantuan kemanusiaan yang jauh lebih besar bagi rakyat Gaza, serta pembebasan segera dan tanpa syarat para sandera (Israel)," katanya.