Jakarta, VIVA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menghanguskan sertifikat lahan yang terkena abrasi laut. Selain berpotensi melahirkan konflik hukum, hal tersebut pun mengancam sejumlah tambak milik warga di pesisir yang rentan terkena abrasi.
Menanggapi hal terseut, Pakar Hukum Agraria UGM, Prof Nur Hasan Ismail menerangkan, hangusnya SHM daratan yang terkena abrasi permanen, berpeluang memicu konflik. Karenanya, perlu kebijaksanaan dari berbagai pihak khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
"Kalau pemiliknya mau menggunakan, ya enggak apa-apa. Artinya, sertifikatnya tetap hidup. Tapi sudah tertutup air, ya enggak apa-apa. Lha wong boleh kok. Nah, kalau dibatalkan tanpa ada pemberian hak prioritas itu ya pasti konflik," ungkapnya dikutip dari keterangannya, Senin, 3 Februari 2025.
Dia mencontohkan, misalnya, ada tambak yang lahannya cukup luas, tiba-tiba harus musnah terkena abrasi laut. Lahan serta haknya juga terhapus dalam sekejap, karena abrasi.
Kemudian muncul PP No 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Beleid ini menghidupkan kembali hak prioritas kepada pemilik lahan yang terkena abrasi.
Bangunan rumah warga yang amblas akibat fenomena abrasi
Karenanya, dia sepakat bahwa salah dalam memutuskan status lahan, risikonya cukup berat. "Iya kalau tidak diberikan hak prioritas kepada pemilik, ya pasti akan konflik. Bisa muncul gugatan ke pengadilan tata usaha negara. Saya kira, tinggal faktanya seperti apa. Aturan hukumnya seperti apa. Ikuti saja itu. Amanlah," kata prof Nur Hasan.
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid menyebut, sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, bakal ditinjau ulang status sertifikatnya. “Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer,” kata Nusron di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.
Kata Nusron, jika tanah atau daratan yang terkena abrasi, sifatnya permanen maka Kementerian ATR/BPN akan membatalkan status kepemilikan tersebut. Demikian pula sebaliknya. “Kalau bersifat karena banjir sementara, ya itu kan temporer. Tapi kalau itu abrasinya permanen, ya itu kita batalkan (SHM),” kata Nusron menambahkan.
Alasan pembatalan SHM, kata dia, mengingat fakta material tanah atau lahan daratan, sudah hilang terkena abrasi air laut. “Kayak banjir jalan, sawah tenggelam kemudian hilang airnya, ya itu masih bisa,” jelas Nusron.
Sementara itu, Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Rikardo Simarmata menilai, anggapan bahwa pemberian hak atas tanah di wilayah perairan, tidak diperbolehkan adalah keliru. Regulasi pertanahan mengizinkan pemberian hak atas tanah di perairan sepanjang ada penggunaan tanah di bawah air. Misalnya untuk pembangunan pelabuhan, hotel, atau fasilitas lainnya.
“Namun, regulasi di sektor kelautan belum secara jelas melarang atau mengizinkan. Dan kemunculan pagar laut ini masih misterius untuk apa,” kata Rikardo.
Lebih lanjut Ia menambahkan, kasus pagar laut ini yang terungkap belakangan ini, perlu ditelaah lebih jauh. Khususnya dari sisi legalitas, terutama terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Jika pagar dipasang tanpa KKPRL, maka ilegal. Demikian pula sebaliknya.
“Yang menjadi perhatian adalah bagaimana izin tersebut diperoleh, apakah melalui prosedur yang benar dan apakah dampaknya terhadap akses nelayan telah diperhitungkan,” jelasnya.
Dia menyayangkan jika masalah pagar laut ditarik ke ranah politik. Masalahnya bakal semakin keruh, sementara rakyat kecil sebagai pemilik lahan harus kehilangan haknya. Selain bisa bisa memicu konflik agraria.
“Jangan sampai kasus ini justru ditarik ke ranah politik. Mari kita sikapi dengan mematuhi regulasi yang ada, baik dari segi pertanahan, tata ruang, maupun perlindungan nelayan,” tuturnya
Sebut saja kasus pagar laut di pesisir Tangerang sepanjang 30,6 kilometer, sejatinya bukan hal baru. Pembatasan laut biasa digunakan untuk budidaya rumput laut atau alat tangkap nelayan.
Sekadar informasi, ancaman abrasi di pantai utara Pulau Jawa sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dikeluarkan pada 2015, sedikitnya 400 kilometer garis pantai di Indonesia, tergerus abrasi.
Dari total panjang pantai 745 kilometer, sebesar 44 persen menghilang ditelan abrasi. Termasuk daratan di pesisir Tangerang yang luasnya 579 hektare, kini berubah menjadi laut sejak 1995-2015.
Kondisi Rumah Makan Pasir Putih Yang Ambruk Akibat Abrasi
Photo :
- VIVA.co.id/Andri Mardiansyah (Padang)
Berdasarkan jurnal Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI) bertajuk 'Monitoring Perubahan Garis Pantai untuk Evaluasi Rencana Tata Ruang dan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Tangerang', menunjukkan semua desa di pesisir Kabupaten Tangerang, hilang digulung abrasi, atau akresi dalam 10 tahun terakhir.
Di mana, desa dengan laju dan luas akresi tertinggi berada di Desa Kohod sebesar 31,41 m/tahun dan 55,51 hektare. Sedangkan desa yang memiliki laju abrasi tertinggi aalah Desa Tanjung Burung sebesar -23,12 m/tahun dengan luas abrasi tertinggi di Desa Ketapang seluas 27,65 hektare.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari mengamini data tersebut. Dia menyatakan, laju abrasi pantai, cukup signifikan bisa sampai 200 hingga 500 meter dalam 10 tahun terakhir.
“Sangat terlihat daerah -daerah yang ke mangrove-nya sudah tidak terjaga, sangat riskan tergerus dalam luasan yang cukup signifikan,” kata Muhari, Pernyataan Muhari diperkuat hasil citra satelit Pantai Anom, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang periode 2009-2025. Sekitar 16 tahun lalu, Kawasan tersebut masih memiliki daratan dan hamparan sawah.
Gelombang abrasi sedikit demi sedikit mulai menggerus daratan di sana. Hingga pada 2014, terjadi perubahan yang luar biasa, jarak antara laut sudah sangat dekat dengan titik yang bertulisan “Pantai Anom” yang terlihat dari layar citra satelit.
Pada 2022, titik yang bertuliskan 'Pantai Anom' semakin bergeser ke arah di laut, tidak lagi terbentang daratan seperti era 2009, 2010, 2012, dan 2014.
Dua tahun kemudian, posisi tulisan 'Pantai Anom' semakin menjorok laut yang dalam. Tidak terlihat lagi hamparan dataran yang sebelumnya ada. Citra satelit terbaru yang diambil pada 24 Januari 2025, titik “Pantai Anom” berada di posisi laut. Dan itu adalah posisi pagar laut yang bikin heboh jagat maya dan viral di berbagai media sosial.
Saksi isu abrasi
Adalah Rudianto (35), Ketua RT 06 Kejaron 11, Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Dia punya banyak cerita soal berubahnya meruginya warga gara-gara empangnya berubah menjadi lautan, gara-gara abrasi laut.
“Rumah serta empang milik warga yang dulunya berdiri kokoh tak jauh dari tepi pantai, harus pindah meghindari ancaman air laut yang semakin mendekat,” ujar Rudianto.
Abrasi di Minahasa Sealatan.
Photo :
- Supriadi Maud/VIVA.
Era 2000-an, kata dia, air laut mulai sering menggenangi daratan, bahkan mengancam keberadaan empang yang menjadi tumpuan hidup warga. "Karena abrasi memuat empang-empang itu menghilang," tambah Rudianto.
Dia menyatakan, perubahan wilayah membuat sebagian besar warga memiliki empang memilih untuk tidak lagi merawatnya. Sebab usaha itu sia-sia jika nantinya harus digusur oleh air laut yang terus bergerak maju.
“Desa Kohod menjadi saksi bisu. Dulu, wilayah ini adalah rumah penduduk yang menggantungkan hidupnya pada laut dan empang. Kini, mereka menghadapi kenyataan pahit. Tanah milik mereka tergerus alam,” keluh Rudianto.
Dampak abrasi memang merugikan rakyat. Pemantiknya bisa macam-macam. Terutama karena menghilangnya hutan mangrove yang salah satu fungsinya mencegah abrasi.
Pada 1980 hingga 1990, masih telihat banyak sawah di Desa Marga Mulya, Kabupaten Tangerang, Banten. Daerah ini dikenal sebagai penghasil semangka. Warga mendapat berkah ekonomi yang lumayan, kala itu. Kini, lahan semangka di sana menghilang ditelan abrasi.
Artiya abrasi tak bisa. Sedikitnya 50 juta rakyat Indonesia yang tinggal di pesisir Pulau Jawa, terancam menjadi korban abrasi. Berdasarkan data Kemenko Perekonomian 2024, dampak kerugian ekonomi akibat abrasi mencapai Rp2,1 triliun. Diprediksi akan naik 500 persen menjadi Rp10 triliun dalam 10 tahun ke depan.
Halaman Selanjutnya
Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid menyebut, sertifikat tanah yang terkena abrasi laut, bakal ditinjau ulang status sertifikatnya. “Bergantung abrasinya itu bersifat permanen atau temporer,” kata Nusron di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat.