Viral Anak SD Menangis karena PR: Mengapa Anak Sekolah Dasar Semakin Tertekan?

2 weeks ago 8

Kamis, 16 Oktober 2025 - 15:23 WIB

(Artikel Opini ini ditulis oleh Dr. Elinda Rizkasari,S.Pd.,M.Pd, Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta)

VIVA – Belakangan ini, media sosial ramai membicarakan video seorang murid sekolah dasar yang menangis karena kelelahan mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan rumah (PR). Dengan suara terbata, ia bercerita takut dimarahi guru jika nilainya turun, sementara waktu untuk bermain hampir tak ada. Ribuan warganet menanggapi dengan rasa iba, banyak di antaranya mengaku anak mereka mengalami hal serupa. Momen ini menjadi potret getir tentang sistem pendidikan dasar kita yang sering kali menuntut kedewasaan terlalu dini dari anak-anak yang seharusnya masih menikmati masa bermainnya.


Source : Dok. Pribadi

Tekanan akademik pada anak usia sekolah dasar bukan persoalan baru, tetapi kini terasa semakin berat. Jadwal belajar yang padat, tugas yang menumpuk, hingga pekerjaan rumah setiap hari membuat waktu mereka habis untuk belajar. Di luar jam sekolah, banyak anak masih harus mengikuti les tambahan. Akibatnya, dalam seminggu mereka nyaris tak punya kesempatan bermain bebas di luar rumah. Padahal menurut UNICEF, anak usia 6–12 tahun idealnya memiliki waktu bermain aktif dua hingga tiga jam per hari untuk mendukung tumbuh kembang yang sehat. Namun kenyataannya, waktu itu kini tergantikan oleh setumpuk buku pelajaran dan layar gawai.

Sebuah studi dari Universitas Indonesia (2024) menunjukkan bahwa enam dari sepuluh anak  sekolah dasar di kota besar mengalami gejala stres ringan hingga sedang akibat beban tugas dan tekanan akademik. Penelitian serupa oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak (2023) juga mencatat, anak-anak dengan durasi belajar lebih dari delapan jam per hari cenderung memiliki tingkat kecemasan dua kali lipat dibanding yang mendapat waktu istirahat cukup. Data ini memperkuat dugaan bahwa sistem pendidikan kita belum ramah anak, dan justru
memicu masalah kesehatan mental sejak usia dini.

Akar persoalan ini terletak pada paradigma lama yang masih menguasai ruang pendidikan kita: nilai akademik sebagai tolok ukur utama keberhasilan. Sekolah berlomba - lomba menunjukkan hasil ujian yang tinggi, guru merasa harus memberi banyak tugas agar terlihat “bermutu”, dan orang tua bangga bila anaknya berada di peringkat teratas. Dalam atmosfer seperti ini, anak-anak kehilangan hak dasarnya untuk tumbuh secara alami bermain, berinteraksi, dan bereksplorasi.

Halaman Selanjutnya

Padahal, esensi pendidikan bukanlah menjejali kepala anak dengan informasi, melainkan menumbuhkan rasa ingin tahu, kemandirian, dan karakter. Pendidikan yang sehat seharusnya melatih anak berpikir kritis, berempati, dan bahagia belajar. Namun yang terjadi, sistem kita lebih sibuk menghitung skor daripada memahami manusia kecil yang sedang belajar mengenali diri dan dunia.

Halaman Selanjutnya

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |