Jakarta, VIVA – Dalam kasus yang menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mahasiswa dari Universitas Bung Karno atau UBK, menitik beratkan pada soal impunitas.
Ketua BEM Fakultas Hukum UBK, Syahril Syafiq Corebima, menyoroti impunitas jaksa yang diatur dalam UU Kejaksaan, khususnya Pasal 8 Ayat 5. Itu disampaikannya dalam diskusi bertema “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa”, yang diselenggarakan secara daring oleh Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD), Jumat 14 Maret 2025.
“Seperti yang kita ketahui, impunitas jaksa dalam UU Kejaksaan saat ini menjadi sorotan. Di kalangan mahasiswa, hal ini juga menjadi bahan diskusi, terutama terkait Pasal 8 Ayat 5 yang menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, hingga penahanan jaksa hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung,” jelas Syahril.
Menurutnya ini bertentangan dengan prinsip equality before the law atau kesamaan di hadapan hukum. Sebab, ada perlakuan khusus terhadap penegak hukum.
“Jika seorang jaksa melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum lain seperti kepolisian harus menunggu persetujuan Jaksa Agung sebelum bisa melakukan pemeriksaan. Ini tentu memberikan ruang bagi oknum jaksa untuk melarikan diri atau menghindari proses hukum,” katanya.
Diakuinya, impunitas memang diperlukan oleh jaksa. Hanya saja dalam konteks menjalankan tugas yang dilakukan secara profesional. Bukan menjadi tameng dari tindakan menyimpang.
“Saya pikir hak imunitas terhadap jaksa itu sudah cukup jelas, yakni dalam hal mereka menjalankan tugas secara profesional, mereka tidak bisa dituntut. Tapi ketika seorang jaksa melakukan tindak pidana, lalu harus menunggu izin Jaksa Agung sebelum diperiksa, ini jelas memberikan perlindungan yang tidak wajar bagi mereka,” papar Syahril.
Dia khawatir, ini rentan penyalahgunaan bila tidak ad koreksi dalam tubuh institusi. Pasal 8 ayat 5 menurutnya, bisa disalahgunakan untuk hal lain. "Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga yang ‘super power’,” ujarnya.
Syahril melihat perlunya revisi terhadap aturan tersebut. Dengan begitu, tidak ada ketimpangan dalam penegakan hukum.
“Sehingga perlu adanya pertimbangan bagaimana Pasal 8 ini dapat diubah agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Jangan sampai Kejaksaan malah menjadi lembaga yang tak tersentuh hukum,” tandasnya.
Halaman Selanjutnya
Dia khawatir, ini rentan penyalahgunaan bila tidak ad koreksi dalam tubuh institusi. Pasal 8 ayat 5 menurutnya, bisa disalahgunakan untuk hal lain. "Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga yang ‘super power’,” ujarnya.