Damaskus, VIVA – Pasukan pemberontak atau oposisi mendeklarasikan Suriah terbebas dari kekuasaan Presiden Bashar al-Assad saat mereka menyerbu ibu kota Suriah, Damaskus.
Presiden Bashar al-Assad meninggalkan bandara Damaskus mendekati waktu ketika pemberontak dilaporkan merebut ibu kota negara tersebut pada Minggu 8 Desember 2024.
"Kami mendeklarasikan kota Damaskus terbebas dari tiran Bashar al-Assad," kata komandan senior kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Hassan Abdul-Ghani dikutip Al Jazeera.
Runtuhnya kekuasaan dinasti al-Assad mengejutkan selama lebih dari 53 tahun usai hampir 14 tahun warga Suriah bangkit dalam protes damai terhadap pemerintah yang menanggapi mereka dengan kekerasan dan kemudian berubah menjadi perang saudara berdarah.
Pasukan pemberontak Suriah membakar foto Presiden Bashar al-Assad
Padahal seminggu yang lalu, rezim al-Assad masih menguasai sebagian besar wilayah negara Suriah, lantas bagaimana semuanya bisa runtuh begitu cepat?
Serangan antara Idlib yang dikuasai oposisi
Dikutip Al Jazeera, koalisi pejuang oposisi melancarkan serangan besar-besaran terhadap pasukan pro-pemerintah pada 27 November 2024. Serangan pertama terjadi di garis depan antara Idlib yang dikuasai oposisi dan provinsi tetangga Aleppo.
Tiga hari kemudian, pejuang oposisi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) merebut kota terbesar kedua Suriah, Aleppo.
Serangan ini dilancarkan oleh beberapa kelompok oposisi bersenjata Suriah yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) pimpinan Abu Mohammed al-Julani dan didukung oleh faksi-faksi sekutu yang didukung Turki.
Adapun Kelompok lain yang ambil bagian dalam operasi tersebut adalah Front Nasional untuk Pembebasan, Ahrar al-Sham, Jaish al-Izza dan Gerakan Nour al-Din al-Zenki, serta faksi-faksi yang didukung Turki yang berada di bawah naungan Tentara Nasional Suriah.
Para pemberontak maju dengan cepat, dalam beberapa hari, mereka merebut Hama dan Homs, sebuah kota yang pernah dijuluki “Ibu Kota Revolusi” selama tahun-tahun awal perang.
Analisis Kepemimpinan al-Assad Tumbang
Menurut para analis, kepemimpinan al-Assad yang jatuh begitu cepat lantaran ekonomi negara tersebut surah sedang merosot, al-Assad menjadi sangat tidak populer karena rakyatnya merasa semakin sulit untuk bertahan hidup, termasuk para prajuritnya, yang sebagian besar tidak ingin berperang untuknya.
Para prajurit dan polisi dilaporkan meninggalkan pos mereka, menyerahkan senjata mereka, dan melarikan diri sebelum pasukan oposisi maju.
Secara militer pula, rezim al-Assad telah lemah selama bertahun-tahun, dan bergantung pada dukungan militer Rusia dan Iran untuk menopangnya.
Sedangkan masih kata para analis, Rusia terjebak dalam invasi ke Ukraina dan Iran serta sekutu mereka di Lebanon, Hizbullah, telah dirugikan oleh serangan Israel ,mereka tidak dapat menyelamatkan tentara Suriah yang sedang goyah.
Halaman Selanjutnya
Dikutip Al Jazeera, koalisi pejuang oposisi melancarkan serangan besar-besaran terhadap pasukan pro-pemerintah pada 27 November 2024. Serangan pertama terjadi di garis depan antara Idlib yang dikuasai oposisi dan provinsi tetangga Aleppo.