Izin Usaha Tambang di Raja Ampat Dicabut, DPR: Pemerintah Harus Beri Kepastian Hukum Bagi Investor

11 hours ago 4

Jakarta, VIVA - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Wayan Sudirta mengatakan langkah cepat pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebenarnya merupakan sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi semata.

Meskipun, kata dia, pemerintah sempat memberikan penjelasan kontra-naratif bahwa kegiatan pertambangan yang ada sebenarnya bukan berada di daerah wisata atau konservasi, seperti Pianemo yang menjadi ikon wisata Raja Ampat atau berada jauh dari lokasi pertambangan. Namun akhirnya, Presiden Prabowo Subianto mencabut empat IUP dari lima perusahaan di kawasan tersebut.

“Langkah cepat pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, sebenarnya merupakan sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi semata,” kata Wayan melalui keterangannya pada Minggu, 15 Juni 2025.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Di tengah meningkatnya kesadaran publik terhadap pelestarian lingkungan dan ekologi, Wayan menilai keputusan ini menjadi bukti bahwa Pemerintah bersedia meninjau ulang kebijakan yang berpotensi merusak keanekaragaman hayati. Namun demikian, langkah korektif ini menyimpan sejumlah persoalan serius terkait tata kelola perizinan, kejelasan langkah hukum, hingga kepastian berinvestasi. 

“Jika tidak dibenahi secara sistemik, keputusan pencabutan izin bisa menciptakan preseden yang kontra-produktif bagi pembangunan jangka panjang dan menurunkan kepercayaan terhadap institusi negara. Publik juga bertanya-tanya apa yang kemudian menjadi ketegasan sikap negara terhadap permasalahan ini,” tegas Wayan.

Menurut dia, keputusan pemerintah mencabut izin ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan publik yang luar biasa besar hingga menjadi sorotan nasional dan internasional. Maka dari itu, Wayan mengatakan respon cepat pemerintah patut diapresiasi. Meskipun, pola reaktif semacam ini juga menyiratkan lemahnya sistem pengambilan kebijakan yang berbasis pada kajian ilmiah dan partisipasi publik yang terstruktur. 

“Tidak sedikit keputusan strategis pemerintah baru berubah setelah mendapat tekanan sosial yang masif, baik dalam isu reklamasi, pembangunan kawasan industri, maupun pembukaan konsesi tambang. Padahal, kebijakan publik harusnya bersifat deliberatif, partisipatif, dan berlandaskan data transparan. Pemerintah perlu membangun mekanisme komunikasi kebijakan yang lebih edukatif, sehingga masyarakat dapat memahami latar belakang keputusan, risiko yang dihadapi, serta konsekuensi jangka panjangnya,” katanya.

Di satu sisi, Wayan melihat pencabutan IUP di Raja Ampat mencerminkan keberpihakan negara terhadap pelestarian lingkungan dan kepentingan jangka panjang rakyat. Namun di sisi lain, langkah ini juga memunculkan tantangan hukum yang tidak ringan. Beberapa perusahaan telah melakukan investasi awal, menyusun dokumen AMDAL, dan mendapatkan pengesahan legal dari otoritas lokal.

Dalam konteks ini, Wayan khawatir pencabutan sepihak berpotensi memicu gugatan hukum atau bahkan arbitrase internasional jika investor merasa dirugikan. Bagi investor, kepastian hukum adalah kunci utama dalam menanamkan modal. Ketika izin yang sah dapat dicabut secara mendadak tanpa mekanisme penyelesaian sengketa yang adil dan transparan, maka iklim investasi nasional bisa terganggu. Apalagi di sektor strategis seperti tambang nikel, menjadi komoditas kunci dalam transisi energi global dan kendaraan listrik.

“Pemerintah perlu menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan dilakukan secara konsisten dan berkeadilan, tidak selektif atau bersifat politis. Jika pencabutan izin memang harus dilakukan, maka mekanisme kompensasi, arbitrase, atau peninjauan administratif harus ditempuh sesuai prinsip due process of law,” ungkapnya.

Kata dia, pemerintah juga belakangan ini memberi sinyal untuk membentuk instansi penegakan hukum yang baru yakni penegak hukum di bidang ESDM/pertambangan, kehutanan, dan lingkungan hidup. Tujuannya, agar lebih efektif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran-pelanggaran serupa. Tapi, timbul pertanyaan apakah menjamin permasalahan mafia tambang akan selesai jika membentuk “instansi baru”.

“Kita tentu ingat bahwa persoalan mendasar lain seperti mafia tanah, narkoba, dan mafia hukum itu sendiri masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah. Apakah pembentukan baru hanya bersifat reaktif saja, karena efektivitasnya akan diragukan atau dipertanyakan. Fungsi pengawasan ini selalu ada tapi tidak pernah responsif secara terukur, hanya menunggu isu viral,” imbuhnya.

Wayan mengatakan Komisi III DPR RI menemukan persoalan penegakan hukum yang terjadi di sektor sumber daya alam. Komisi III membentuk panitia kerja (panja) untuk mendukung sistem penegakan hukum dalam mengawasi sektor sumber daya alam, termasuk pertambangan. 

Selama ini, lanjut dia, Polri dan Kejaksaan menyatakan tidak ada permasalahan mendasar, yang menyebabkan Polri dan Kejaksaan tidak mampu untuk menindak dan mengawasi pelanggaran hukum di sektor-sektor tersebut. Nyatanya, masih banyak persoalan pelanggaran yang masih terjadi. Masalahnya tentu bukan hanya di penegakan hukum, tapi juga sudah terjadi dari sejak pemberian perizinannya. 

“Persoalan perizinan ini sebenarnya juga menyinggung kemampuan penegak hukum dalam menelaah potensi adanya tindak pidana korupsi. Kerugian negara sudah jelas terlihat sebagaimana kasus-kasus di sektor pertambangan lainnya. KPK misalnya telah menemukan permasalahan di Kementerian ESDM, yang tentu berujung pada penerbitan produk hukumnya. Hal ini saja sudah menjadi bukti awal bahwa tindak pidana korupsi dapat terjadi sudah sejak penerbitan izinnya,” ungkap Anggota Komisi III DPR RI ini.

Oleh karenanya, Wayan mengatakan momentum paling penting dari keputusan pemerintah tersebut adalah upaya untuk melakukan reformasi total terhadap sistem perizinan di sektor sumber daya alam. Di antaranya, Pemerintah perlu membangun satu sistem perizinan terintegrasi berbasis spasial dan ekologis, yang dapat digunakan semua kementerian atau lembaga dan Pemerintah Daerah. Sistem ini harus terbuka untuk publik agar bisa diawasi secara sosial.

Kemudian, DPR bersama Pemerintah harus segera mengevaluasi seluruh IUP yang berada di wilayah pulau kecil dan kawasan strategis konservasi. Evaluasi ini harus berbasis pada data ilmiah dan keterlibatan masyarakat sipil. Regulasi sektoral yang saling tumpang tindih juga harus segera disinkronkan, termasuk antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Pengelolaan Pesisir.

“Pada akhirnya, keputusan mencabut IUP di Raja Ampat adalah langkah yang benar dan penting. Namun, keputusan yang baik tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistemik. Kita tidak hanya membutuhkan keberanian politik untuk mencabut izin, tetapi juga visi jangka panjang untuk membangun tata kelola sumber daya alam yang adil, transparan, dan berkelanjutan,” katanya.

Ke depan, Wayan menekankan negara harus hadir bukan sebagai pemadam kebakaran ketika krisis meledak, tetapi sebagai perancang sistem yang mencegah krisis itu terjadi sejak awal. “Hukum harus dapat mendeteksi, mencegah, dan mengawasi penyalahgunaan atau kebocoran sekaligus menindak tegas seluruh pelanggaran secara konsisten dan efektif (menimbulkan efek jera),” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

“Tidak sedikit keputusan strategis pemerintah baru berubah setelah mendapat tekanan sosial yang masif, baik dalam isu reklamasi, pembangunan kawasan industri, maupun pembukaan konsesi tambang. Padahal, kebijakan publik harusnya bersifat deliberatif, partisipatif, dan berlandaskan data transparan. Pemerintah perlu membangun mekanisme komunikasi kebijakan yang lebih edukatif, sehingga masyarakat dapat memahami latar belakang keputusan, risiko yang dihadapi, serta konsekuensi jangka panjangnya,” katanya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |