Jakarta, VIVA – Kasus meninggalnya seorang siswa SD berusia 8 tahun di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, akibat dugaan perundungan oleh kakak kelasnya, telah mengguncang dunia pendidikan Indonesia.
Korban disebut sering mengalami perundungan karena perbedaan suku dan agama. Kepolisian masih memproses kasus tersebut lantaran orang tua korban memilih jalur hukum.
Menanggapi hal ini, anggota Komisi X DPR RI Sabam Sinaga mengatakan pentingnya penanganan khusus terhadap kasus perundungan yang berkaitan dengan perbedaan agama. Dalam pendekatan legislasi, RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) harus mengedepankan pendidikan multikultural dan penyediaan guru multiagama di setiap sekolah Indonesia.
"Itu perlu penanganan secara khusus, ya. Dan yang kedua, bahwa isunya bully ini karena berkaitan dengan agama minoritas di sebuah sekolah," ujarnya saat dihubungi, Sabtu 31 Mei 2025.
Ketua Panitia Perayaan Natal Nasional Partai Demokrat 2024, Sabam Sinaga
Photo :
- VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham
Legislator yang menjabat sebagai Ketua Umum Perkumpulan Kerukunan Umat Pentakosta Indonesia (PERKUPI) ini juga menyoroti kurangnya guru yang mewakili agama minoritas di sekolah-sekolah.
"Mungkin saja karena keterbatasan pendidik yang berkaitan dengan agama minoritas, maka anak-anak ini tidak tertangani dengan baik, terutama ketika jam belajar agama," tambahnya.
Ia mengusulkan agar sekolah-sekolah di seluruh Indonesia mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 tentang Kebebasan Beragama dengan menyediakan guru-guru dari agama minoritas. Dan hal ini perlu dituangkan dalam RUU Sisdiknas. Sabam menilai dengan kehadiran guru agama di setiap sekolah juga bisa membatasi adanya perundungan karena anak-anak yang saling berbeda keyakinan dilindungi oleh guru.
"Maka perlu dalam usulan ke depan, bahwa sekolah-sekolah di mana pun di seluruh Indonesia ini merujuk kepada Pasal 28 Kebebasan Beragama, sebaiknya ada juga guru-guru yang minoritas itu ditempatkan," kata legislator dapil Sumatera Utara II ini.
Sabam juga menekankan pentingnya peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam melakukan sosialisasi kepada anak-anak dan pendidik agar tidak terjadi lagi perundungan di sekolah. "KPAI yang perlu menangani atau perlu melakukan semacam sosialisasi terhadap anak-anak pendidik agar tidak terjadi lagi pembulian atau perundungan terhadap anak-anak sekolah," ujarnya.
Selain itu, ia menyoroti perlunya kehadiran guru-guru, pimpinan, dan konselor di sekolah untuk menangani anak-anak yang menjadi korban perundungan secara proaktif. Bukan hanya menerima laporan siswa atau orang tua, tetapi mereka harus melihat kondisi faktual sosial anak-anak di sekolah.
"Di sekolah itu perlu juga ada guru-guru, pimpinan, konseling untuk menangani anak-anak yang korban bully. Karena korban bully ini perlu ditangani, akan mengganggu mental mereka ke depan," tambahnya.
Sabam juga menekankan pentingnya kesetaraan dalam pendidikan agama meskipun sekolah-sekolah itu berbasis agama. Anggota Fraksi Partai Demokrat itu menegaskan bahwa kehadiran guru-guru dari agama minoritas di sekolah-sekolah menunjukkan kehadiran pemerintah dan implementasi undang-undang.
"Dengan hadirnya guru-guru minoritas, sekolah apa pun itu, ya kan? Itu menandakan hadirnya pemerintah, satu. Yang kedua, menandakan bahwa implementasi undang-undang itu terwujud," ujarnya.
Sabam juga menekankan pentingnya kesetaraan dalam pelayanan pendidikan agama di daerah-daerah dengan mayoritas agama tertentu. "Contoh di Papua atau di Manado, mayoritas non-muslim. Tetapi negara harus menyediakan guru pendidikan agama Islam jika di situ ada siswa beragama Islam. Selama ini mereka di luar kelas atau mengikuti kelas begitu saja sehingga ruang perundungan itu terjadi," tambahnya.
Korban, seorang siswa kelas 2 SD di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, meninggal dunia setelah diduga mengalami perundungan oleh lima kakak kelasnya. Orang tua korban melaporkan bahwa anak mereka sering menjadi korban perundungan karena perbedaan suku dan agama. Korban sempat dirawat di rumah sakit sebelum akhirnya meninggal dunia.
Kasus ini menyoroti pentingnya pendidikan multikultural di sekolah-sekolah Indonesia. Pendidikan multikultural bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai toleransi, menghargai perbedaan, dan hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beragam.
Dengan mengintegrasikan pendidikan multikultural ke dalam kurikulum, diharapkan siswa dapat memahami dan menghargai keberagaman budaya, suku, dan agama yang ada di Indonesia.
Implementasi pendidikan multikultural juga mencakup pelatihan bagi guru untuk mengelola kelas yang beragam secara efektif, serta menyediakan materi pembelajaran yang mencerminkan keragaman budaya dan agama. Selain itu, penting untuk melibatkan orang tua dan komunitas dalam mendukung nilai-nilai toleransi dan inklusi di lingkungan sekolah.
Dengan langkah-langkah ini, Sabam mengharapkan kasus-kasus perundungan yang disebabkan oleh perbedaan suku dan agama dapat diminimalisir, dan lingkungan sekolah menjadi tempat yang aman dan inklusif bagi semua siswa.
Halaman Selanjutnya
Ia mengusulkan agar sekolah-sekolah di seluruh Indonesia mengacu pada UUD 1945 Pasal 28 tentang Kebebasan Beragama dengan menyediakan guru-guru dari agama minoritas. Dan hal ini perlu dituangkan dalam RUU Sisdiknas. Sabam menilai dengan kehadiran guru agama di setiap sekolah juga bisa membatasi adanya perundungan karena anak-anak yang saling berbeda keyakinan dilindungi oleh guru.