Potret Nestapa Kampung Jengok NTT: Tanpa Listrik dan Air Bersih, Anak Bertaruh Nyawa ke Sekolah

2 weeks ago 14

Rabu, 15 Oktober 2025 - 06:00 WIB

Manggarai Barat, VIVA – Kondisi kehidupan warga Kampung Jengok Desa Wae Jare, Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur jauh dari kata layak; terpuruk tanpa jalan, jembatan, listrik, dan akses air bersih.

Satu-satunya akses penghubung Kampung Jengok dengan daerah lain adalah sebuah jembatan bambu darurat yang dibuat sendiri oleh warga.

Saat musim hujan, kondisi jembatan yang rapuh semakin berbahaya dan berisiko bagi keselamatan anak-anak sekolah dan petani yang memikul hasil panen.

Ironis memang, Kampung Jengok yang hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat yang tersohor dengan label destinasi pariwisata super prioritas benar-benar terlupakan.

Anak sekolah di jembatan bambu Wae Jare Mbeliling Manggarai Barat

Donatus Semidun, seorang tokoh masyarakat Dusun Jengok, mengungkapkan bahwa jembatan yang menghubungkan Jengok dan Kampung Tuwa ini dibangun pada era 1990-an dan sudah mengalami perbaikan berulang kali.

Kedua sisi jembatan disambungkan ke batang pohon besar pengganti tiang. Desain seperti itu membuat pengguna mesti memanjat dulu pada tangga pohon lalu menyeberang sejauh 30 meter di atas jembatan gantung setinggi delapan meter.

“Jembatan Wae Jare ini sudah ada sejak Kampung tahun 1990-an sejak kampung kami ada. Kami rutin mengganti bilah-bilah bambu yang lapuk dengan batang bambu yang kokoh,” kata Donatus Semidun dihubungi Selasa, 14 Oktober 2025.

Kali Wae Jare, jelas Donatus, mengalir langsung dari pegunungan hutan Mbeliling. Kedalamannya stabil dan sedikit berkurang pada kemarau berkepanjangan.

Di bagian hilirnya, kali Wae Jare bermuara dengan Kali Wae Longge dekat jembatan di jalan trans Flores. Saat hujan deras dengan durasi panjang, sering kali membuat muka air nyaris mencapai ketinggian jembatan.

“Kalau hujan lebat dan air kali meluap kita tidak berani lewat karena sangat berisiko. Kalau hujan yang berlangsung dari subuh sampai pagi atau hujan deras yang turun saat anak-anak pulang sekolah lebih tunggu sampai aman baru boleh menggunakan jembatan. Saat hujan deras begitu, biasanya ada orang yang menunggu di mulut jembatan agar anak-anak jangan lewat dulu termasuk anak-anak yang pergi atau pulang sekolah,” katanya.

Kegelapan Malam dan Krisis Air Bersih

Setiap hari, anak-anak SD dan SMP dari Kampung Jengok melintas di atas jembatan yang terhubung dengan jalan negara setelah melewati Kampung Tuwa.

“Anak-anak kami sekolahnya di Lengkong Cepang yang berjarak 4,5 kilometer. Jalan kaki dari kampung ke sekolah itu satu jam,” imbuh Donatus Semidun.

Jembatan bambu kali Wae Jari, Manggarai Barat

Selain masalah jembatan, Kampung Jengok masih menghadapi kegelapan di malam hari karena tidak adanya penerangan listrik. Hal ini membatasi aktivitas warga, termasuk jam belajar anak-anak sekolah menjadi tidak efektif.

“Sedih Pak kalau menyaksikan anak-anak kami belajar pakai lampu pelita setiap mala,” lanjut Semidun.

Janji Politik soal Infrastruktur Tak Dipenuhi

Selain jalan desa yang masih berupa jalan tanah, lebih dari 80 KK warga Kampung Jengok masih mengonsumsi air dari sungai Wae Jare untuk kebutuhan sehari-hari, padahal kualitas air tersebut sangat rawan terhadap penyakit.

Donatus Semidun berikhtiar mengetuk hati pemerintah daerah untuk merespons jeritan hati warga Kampung Jengok. Donatus dan warga lainnya masih menunggu janji-janji manis  yang selalu dilantangkan oleh caleg maupun tim sukses pilkada yang pernah berkampanye di kampung mereka.

“Aduh Pak, kalau ingat lagi ke janji-janji pileg dan pilkada sudah tak terhitung lagi katanya mau bangun jembatan gantung, janji masuk pipa air bersih, bawa listrik PLN ke sini tapi tak satupun yang ditepati,” sebut Donatus.

Warga kampung Jengok berharap, semoga dengan pemberitaan media, jembatan bambu ini bisa menjembatani segala harapan, penyambung segala asa, peretas kemiskinan, pelita bagi anak-anak mereka menjadi generasi emas, yang tak perlu lagi bertaruh nyawa saat pergi dan pulang dari sekolah.

Laporan Jo Kenaru/ NTT

Tiga kementerian teken kesepakatan tindak lanjut tragedi Ponpes Al Khoziny

Tiga Kementerian Teken SKB Terkait Dukungan Infrastruktur Pesantren Imbas Tragedi Al Khoziny

Tiga kementerian menandatangani surat kesepakatan bersama (SKB) terkait dukungan terhadap infrastruktur pesantren imbas tragedi ambruknya bangunan ponpes Al Khoziny.

img_title

VIVA.co.id

14 Oktober 2025

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |