Jakarta, VIVA – Salah satu indikator penting bagi kualitas demokrasi adalah ruang sipil yang sehat dan terbuka. Hal itu menjadi sorotan utama dalam riset Yayasan Partisipasi Muda bertajuk “Understanding Youth Engagement and Civic Space in Indonesia” yang dilakukan terhadap 505 anak muda Indonesia berusia 18–25 tahun.
Direktur Eksekutif Yayasan Partisipasi Muda, Neildeva Despendya, menjelaskan bahwa konsep ruang sipil berakar pada pemikiran Jürgen Habermas, yaitu ruang publik yang menjamin kebebasan berbicara dan berpendapat bagi warga negara.
“Ruang sipil yang sehat bukan hanya tempat berkumpul, tetapi ekosistem yang memungkinkan masyarakat mengekspresikan ide dan mengkritik kebijakan,” ujarnya dalam siaran pers, Senin 3 November 2025.
Neildeva menyoroti kondisi ruang sipil Indonesia yang kian memburuk. Berdasarkan laporan CIVICUS, skor kebebasan sipil Indonesia hanya 48 dari 100, menempatkannya dalam daftar watchlist dunia. Ia memperingatkan bahaya toxic civic space, di mana kebebasan dipersempit, partisipasi dibatasi, dan masyarakat akhirnya apatis.
“Ketika ruang sipil menyempit, anak muda kehilangan ruang untuk tumbuh dan berinovasi,” tegasnya.
Dalam forum diskusi, sejumlah peserta menilai penyempitan ruang sipil terjadi akibat masuknya militer ke ruang publik dan normalisasi represi di media sosial. Peserta lain menambahkan bahwa pemblokiran akun kritis serta praktik doxing terhadap aktivis menciptakan ketakutan kolektif di kalangan muda.
Muhammad Fajar dan Rahardhika Utama, selaku periset tersebut mengatakan, riset dilakukan untuk mengeksplorasi bagaimana anak muda memahami pelemahan demokrasi (democratic backsliding) dan merasakan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, riset juga menyoroti strategi anak muda menghadapi penyempitan ruang sipil di tengah kemunduran demokrasi yang diungkap oleh laporan Freedom House (2024) dan Economist Intelligence Unit (2023).
“Hasilnya, 73,9% responden merasa tidak aman menyampaikan pendapat di ruang terbuka seperti media sosial. Sebanyak 42% menilai pemerintah tidak memberi perlindungan terhadap hak-hak sipil, 36% khawatir pelecehan atau intimidasi saat berkumpul damai, serta banyak yang mengaku menghadapi diskriminasi berbasis gender, etnis, atau agama,” ujar Fajar.
Sementara itu, Rahardhika Utama menuturkan, hambatan terbesar bagi anak muda bukan sekadar soal ruang, tetapi bersifat struktural meliputi risiko hukum, keamanan daring, dan lemahnya lembaga negara.
Halaman Selanjutnya
“Riset ini juga menemukan variasi aktivisme lintas wilayah: di Indonesia Barat anak muda lebih kritis dan aktif, di Indonesia Tengah cenderung moderat, sementara di Indonesia Timur fokus pada isu lingkungan dan HAM,” ungkap Rahardika melalui pemaparan online.
      

                        10 hours ago
                                1
                    








