Jakarta, VIVA – Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Usman Hamid, menanggapi wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. Ia menilai, usulan itu justru berpotensi membalik makna kepahlawanan dan mengaburkan nilai moral dalam sejarah bangsa.
“Saya mau kutip pandangan Idi Subandy Ibrahim. Dia bilang kepahlawanan itu adalah cahaya keteladanan. Jadi, kalau di sekitar kita terjadi kegelapan, maka seorang pahlawan itu memberikan cahaya. Nama Soeharto itu membuat saya seperti kembali ke dalam kegelapan,” ujar Usman dalam diskusi #Seohartobukanpahlawan 2.0 di Jakarta Selatan, pada Sabtu 8 November 2025.
Usman mengatakan, jika Soeharto disebut pahlawan, maka secara logika terbalik, tokoh-tokoh reformasi seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Nurcholish Madjid (Cak Nur) justru dianggap penjahat.
“Banyak yang mengatakan bahwa Presiden Soeharto adalah pahlawan, maka mantan ketua umum PP Muhamamdiyah Amien Rais adalah penjahatnya? Padahal, Prof Amin Rais yang ikut menjatuhkan Soeharto bersama Gus Dur bersama Nurcholis Madjid (Cak Nur). Cak Nur bahkan yang dicatat dalam sejarah mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa mahasiswa menginginkan Soeharto turun,” tegasnya.
Usman lantas menyinggung kisah Cak Nur yang sempat menyampaikan langsung kepada Soeharto mengenai tuntutan mahasiswa pada masa reformasi 1998.
“Kata Cak Nur, ‘Pak Harto tahu tidak apa yang dimaksud mahasiswa soal reformasi?’, ‘Tidak tahu’, ‘Yang diinginkan mahasiswa soal reformasi, Pak Harto turun’,” ungkap Direktur Amnesty Internasional ini.
Atas dasar itu, menurut Usman, jika ada lagi upaya menyamakan Soeharto dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai pahlawan adalah langkah yang menyesatkan moral publik.
“Sekaligus saja, misalnya Riza Chalid jadi Pahlawan. Atau semua terdakwa korupsi dan terpidana korupsi kita pahlawankan misalnya. Semua pelanggar-pelanggar hak asasi manusia kita pahlawankan demi persatuan nasional. Kan enggak gitu,” kritiknya.
Usman menegaskan, bangsa ini membutuhkan kompas moral yang jelas untuk menilai mana yang benar dan salah, mana yang etis dan tidak etis.
“Indonesia sudah semakin kehilangan kompas moral. Mana yang benar dan salah dan mana yang jahat dan baik, mana yang etis dan tidak etis mulai kabur. Sama seperti dalam konteks wacana kepahlawanan, mana yang pahlawan, mana yang penghianat dikaburkan,” ujarnya.
Halaman Selanjutnya
Atas dasar itu, Usman pun turut merasakan apa yang dirasakan generasi muda, khususnya Gen Z, yang kini kesulitan menemukan figur teladan dalam kehidupan sosial-politik.

4 hours ago
4









