Jakarta, VIVA – Transisi ke kendaraan nol emisi, yang saat ini dapat dipenuhi oleh Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai (KBLBB), dapat membantu Indonesia bebas impor bahan bakar fosil paling cepat tahun 2048. Terlebih lagi, langkah ini dapat memangkas hingga 90 persen subsidi dan kompensasi energi untuk sektor transportasi darat, jika dibandingkan anggaran tahun 2023.
Karena itu, International Council for Clean Transportation (ICCT) meluncurkan peta jalan Indonesia menuju nol emisi yang termuat dalam laporan studi berjudul ‘Roadmap to Zero: The Pace of Indonesia’s Electric Vehicle Transition’. Dalam peta jalan itu ada beberapa skenario upaya dalam menuju kendaraan nol emisi.
"Dengan menargetkan 100 persen penjualan kendaraan nol emisi pada 2037 (untuk roda dua dan tiga) dan 2040 (untuk mobil penumpang, bus, dan truk), Indonesia dapat terlepas dari beban fiskal yang saat ini setara dengan 10 pendapatan domestik bruto, pada tahun 2060,” ujar Managing Director ICCT Ray Minjares di Jakarta, Rabu.
Ilustrasi gambar tempat pengisian kendaraan listrik
Studi ini merupakan hasil kolaborasi ICCT dengan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (sekarang beralih ke Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintahan, badan usaha, asosiasi dan lembaga think tanks.
Ray memaparkan empat rekomendasi dari laporan studi tersebut. Pertama, pemerintah perlu menetapkan target pangsa pasar untuk kendaraan nol emisi. Kedua, dukungan fiskal dapat mempercepat transisi seluruh jenis kendaraan untuk mencapai nol emisi.
Ketiga, membuat standar suplai kendaraan nol emisi untuk mendorong produksi dan adopsi. Keempat, mengembangkan infrastruktur pengisian daya yang menyesuaikan karakteristik dan kebutuhan pengguna yang bervariasi.
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menyampaikan, Indonesia perlu mempercepat pembangunan ekosistem kendaraan nol emisi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai swasembada energi.
Rachmat menyampaikan pemerintah mengimpor 60 persen bahan bakar fosil, serta menganggarkan subsidi dengan nilai rata-rata Rp250 triliun per tahun dalam lima tahun terakhir. Selain menjadi beban fiskal, ketergantungan kendaraan terhadap bahan bakar fosil menyumbang 40-60 persen dari polusi udara di perkotaan.
“Kalau ekosistem sudah terbangun, ketergantungan kita pada impor bahan bakar fosil akan berkurang. Kenapa? Karena listrik feedstock-nya domestik, baik energi fosil maupun energi terbarukan,” ujarnya. (Ant)
Halaman Selanjutnya
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menyampaikan, Indonesia perlu mempercepat pembangunan ekosistem kendaraan nol emisi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai swasembada energi.