Jakarta, VIVA – Pekan Glaukoma Sedunia (World Glaucoma Week) diperingati setiap minggu ke-2 Maret, dengan tujuan untuk meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan masyarakat maupun stakeholder (pelaku di bidang kesehatan) tentang pentingnya upaya preventif, kuratif hingga rehabilitatif penyakit glaukoma.
Glaukoma sendiri merupakan kondisi neuropati optik progresif yang disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan di dalam bola mata yang dapat merusak saraf optik dan berdampak pada penurunan fungsi penglihatan, bahkan kebutaan. Scroll untuk informasi selengkapnya, yuk!
Kondisi ini dapat dialami oleh usia berapa pun, namun seiring peningkatan faktor risiko, kondisi ini banyak dialami oleh kalangan usia 40 tahun ke atas. Hal ini menjadikan glaukoma sebagai penyebab kebutaan tertinggi kedua setelah katarak.
Nyaris tanpa gejala, glaukoma berpotensi memberikan dampak yang lebih fatal dibanding katarak karena glaukoma tidak dapat direhabilitasi, namun bisa dicegah dampak fatalnya yaitu berupa kebutaan permanen.
Ilustrasi sakit glaukoma
Photo :
- Edwin Tan dari Freepik
Di negara berkembang, 90 persen kasus glaukoma tidak terdeteksi. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa sekitar 1 miliar orang di dunia tidak memiliki akses terhadap kesehatan mata karena distribusi yang tidak merata.
Konsultan oftalmologi di JEC Eye Hospitals and Clinics, DR. Dr. Iwan Soebijantoro, SpM(K), menjelaskan, glaukoma merupakan penyakit mata yang sering kali berkembang tanpa gejala di tahap awal, sehingga banyak penderita baru menyadari ketika sudah mengalami gangguan penglihatan yang permanen.
“Menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, dari 39 juta kasus kebutaan di dunia, sebanyak 3,2 juta disebabkan oleh glaukoma dan prevalensi glaukoma mencapai 0,46 persen, atau sekitar 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk,” jelas Dr Iwan saat memperingati World Glaucoma Week di Jakarta.
“80 persen kasus glaukoma tidak memiliki gejala, kebanyakan pasien terdiagnosa secara tidak sengaja saat tes kesehatan atau di saat skrining. Namun jika muncul gejala sakit kepala hebat, pandangan tiba-tiba kabur, mual, muntah, dan kesakitan hebat, masyarakat perlu waspada. Pasien yang menderita glaukoma akut, memiliki waktu 2x24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen,” sambungnya.
Selain faktor keturunan, beberapa kondisi lain juga dapat meningkatkan risiko seseorang terkena glaukoma, di antaranya:
- Usia di atas 40 tahun
- Tekanan bola mata tinggi (hipertensi okular)
- Penyakit penyerta seperti diabetes dan hipertensi
- Miopia (rabun jauh) atau hipermetropia (rabun dekat) tinggi
- Cedera pada mata atau penggunaan obat kortikosteroid dalam jangka panjang.
“Karena glaukoma sering berkembang tanpa gejala di tahap awal, deteksi dini menjadi sangat penting. Pemeriksaan mata secara rutin, terutama bagi individu dengan faktor risiko, adalah langkah utama dalam mencegah dampak glaukoma yang lebih serius,” pungkasnya.
Head of Glaucoma Service, JEC Eye Hospitals and Clinics, Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, SpM(K), pun mengumumkan bahwa JEC Eye Hospitals and Clinics masih membuka tahap kedua untuk operasi 100 pasien implan glaukoma gratis. Operasi gratis dilaksanakan di hampir seluruh cabang JEC Group yang ada di seluruh Indonesia.
“Masyarakat yang membutuhkan dapat menghubungi JEC untuk dilakukan screening awal dan mendapatkan kesempatan menjalani prosedur ini tanpa biaya. Program ini bertujuan untuk membantu pasien dengan keterbatasan akses terhadap pengobatan yang efektif guna mencegah kebutaan akibat glaukoma,” imbuh Prof Widya Artini.
Halaman Selanjutnya
“80 persen kasus glaukoma tidak memiliki gejala, kebanyakan pasien terdiagnosa secara tidak sengaja saat tes kesehatan atau di saat skrining. Namun jika muncul gejala sakit kepala hebat, pandangan tiba-tiba kabur, mual, muntah, dan kesakitan hebat, masyarakat perlu waspada. Pasien yang menderita glaukoma akut, memiliki waktu 2x24 jam untuk segera menurunkan tekanan bola mata, jika terlambat, kelainannya akan menjadi permanen,” sambungnya.