Jakarta, VIVA – Pemerintahan Taliban Afghanistan baru-baru ini membatalkan kontrak besar senilai 540 juta dolar AS dengan perusahaan energi asal Tiongkok, Xinjiang Central Asia Petroleum and Gas Co. (CAPEIC). Langkah ini bukan sekadar persoalan sengketa kontrak semata, melainkan menandai perubahan signifikan dalam arah kebijakan ekonomi Afghanistan yang kini mulai meninjau ulang hubungan kemitraan dengan investor asing—khususnya dari China.
Dilansir laman Zamin, Kamis 26 Juni 2025, kontrak yang dibatalkan ini sebelumnya diteken pada Januari 2023, bertujuan mengeksplorasi kekayaan minyak di Cekungan Amu Darya, wilayah utara Afghanistan. CAPEIC berkomitmen mengucurkan investasi awal sebesar 150 juta dolar AS, dengan target mengolah wilayah seluas 4.500 km² yang diperkirakan menyimpan cadangan minyak mentah hingga 87 juta ton. Bagi rezim Taliban yang tengah mencari legitimasi internasional dan pemasukan ekonomi, proyek ini semula tampak sebagai berkah besar.
Namun, harapan tersebut kandas. Menurut juru bicara Kementerian Pertambangan dan Perminyakan Taliban, Hamaun Afghan, evaluasi oleh komite gabungan menemukan bahwa CAPEIC kerap melanggar isi perjanjian dan tidak memenuhi kewajiban kontraktual. Rekomendasi untuk mengakhiri kontrak datang dari Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi, Mullah Abdul Ghani Baradar, dan disetujui langsung oleh Perdana Menteri Mullah Hassan Akhund.
Meski rincian pelanggaran belum diumumkan ke publik, pemerintah kini mengundang firma konsultan internasional untuk mengaudit secara menyeluruh aspek hukum dan finansial dalam kontrak-kontrak mendatang. Keputusan ini menjadi langkah berani mengingat hubungan historis antara Taliban dan China, yang sejak 2021 terbilang erat. China bahkan menjadi negara pertama yang menerima secara resmi duta besar yang ditunjuk oleh Taliban, dan mengirimkan perwakilannya ke Kabul.
Namun, langkah ini memperlihatkan bahwa bahkan pemerintahan yang relatif terisolasi seperti Taliban pun tidak segan menuntut pertanggungjawaban jika mitra asing tidak menepati janji. Tren seperti ini juga mulai tampak di sejumlah negara berkembang lainnya.
Gelombang Global Penolakan Kontrak China
Langkah Afghanistan ini menjadi bagian dari pola global yang lebih luas, di mana banyak negara mulai memeriksa ulang proyek-proyek investasi yang dipimpin oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Afrika menjadi kawasan yang paling mencolok dalam hal ini.
Contohnya Ghana, yang membatalkan kontrak dengan Beijing Everyway Traffic and Lighting Tech karena hasil kerja yang dinilai buruk dalam proyek sistem manajemen lalu lintas pintar. Kekecewaan terhadap mutu pekerjaan menjadi alasan utama.
Di Republik Demokratik Kongo, Presiden Felix Tshisekedi bahkan secara terbuka mengkritik perjanjian tambang yang ditandatangani pada 2008 dengan dua perusahaan BUMN China: Sinohydro Corp dan China Railway Group. Kesepakatan tersebut, yang memberikan 68% saham dalam usaha tambang Sicomines kepada China sebagai imbalan pembangunan infrastruktur, kini tengah ditinjau ulang. Presiden Tshisekedi menilai bahwa perjanjian tersebut hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat DRC tetap hidup dalam kemiskinan.
Proyek Gagal di Afrika dan Asia
Tak hanya di Afrika, pengalaman serupa juga ditemukan di Kenya. Pada Juli 2024, Pengadilan Tinggi Kenya membatalkan kontrak proyek Standard Gauge Railway senilai 3,2 miliar dolar AS, menyatakan proyek tersebut ilegal akibat pelanggaran aturan pengadaan.
Ethiopia pun memutus hubungan dengan perusahaan China, Poly-GCL, yang telah menjajaki proyek minyak dan gas di Cekungan Ogaden sejak 2013. Pemerintah menyatakan bahwa perusahaan tersebut gagal menunjukkan kapasitas finansial dan manajerial yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek secara berkelanjutan, meskipun telah diberikan berbagai kesempatan.
Sementara itu, Uganda membatalkan kontrak pembangunan jalur kereta standar pertama dengan China Harbour Engineering Company (CHEC) karena pemodal Tiongkok menarik dukungannya. Kini, proyek tersebut dilanjutkan bersama perusahaan Turki, Yapi Merkezi—sebuah tanda diversifikasi arah kemitraan yang semakin kuat.
Ketegangan di Amerika Latin
Bahkan di kawasan Amerika Tengah, dominasi China mulai mendapat perlawanan. Di Panama, pemerintah tengah menghadapi gugatan hukum yang menantang konsesi perusahaan asal Hong Kong dalam pengelolaan dua pelabuhan strategis di kedua sisi Terusan Panama. Isu ini berkembang di tengah ketegangan geopolitik global dan kekhawatiran atas dominasi infrastruktur penting oleh pihak asing.
Apa yang Salah dalam Pola Investasi China
Kritik utama terhadap investasi luar negeri Tiongkok terletak pada rendahnya standar pelaksanaan, minimnya transparansi, ketentuan kontrak yang condong merugikan negara penerima, serta kurangnya adaptasi terhadap konteks lokal. Pandemi COVID-19 turut memperburuk situasi, mendorong China untuk menahan laju pendanaan proyek besar sementara negara-negara mitra kesulitan membayar utang.
Awalnya, banyak negara tertarik karena pendekatan investasi Tiongkok yang tidak mensyaratkan standar transparansi dan tata kelola seperti yang diwajibkan lembaga donor Barat. Namun pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan ‘tanpa syarat’ ini justru sering menimbulkan masalah jangka panjang, termasuk jebakan utang dan mutu proyek yang meragukan.
Afganistan dan Masa Depan Hubungan Ekonomi Global
Keputusan Taliban untuk membatalkan kontrak dengan CAPEIC menjadi penanda bahwa bahkan pemerintahan dengan ruang gerak diplomatik terbatas pun kini lebih berani bersikap tegas terhadap mitra asing. Pesan yang tersirat: status sebagai investor besar dunia tidak lagi menjamin toleransi terhadap kegagalan kontraktual.
China kini menghadapi tekanan untuk memperbaiki reputasi globalnya—dengan meningkatkan kualitas proyek, memperjelas kontrak, serta memberikan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi negara mitra. Era di mana investasi Tiongkok diterima begitu saja mungkin telah usai. Negara-negara berkembang kini bergerak menuju kemitraan yang lebih seimbang dan berjangka panjang.
Bagi Afghanistan, langkah ini bisa jadi awal dari pendekatan yang lebih strategis dalam membangun kerja sama internasional—yang tak sekadar mengejar kucuran dana, tapi juga mempertimbangkan keberlanjutan, manfaat riil, dan kedaulatan nasional.
Halaman Selanjutnya
Di Republik Demokratik Kongo, Presiden Felix Tshisekedi bahkan secara terbuka mengkritik perjanjian tambang yang ditandatangani pada 2008 dengan dua perusahaan BUMN China: Sinohydro Corp dan China Railway Group. Kesepakatan tersebut, yang memberikan 68% saham dalam usaha tambang Sicomines kepada China sebagai imbalan pembangunan infrastruktur, kini tengah ditinjau ulang. Presiden Tshisekedi menilai bahwa perjanjian tersebut hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara rakyat DRC tetap hidup dalam kemiskinan.