VIVA – Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) kembali menegaskan pentingnya sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman agar regulasi di bidang penyiaran dan perfilman dapat berjalan harmonis di era konvergensi digital.
Pesan tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal ATVSI, Gilang Iskandar, dalam kegiatan “Jaring Masukan untuk Penyusunan Matriks Usulan Revisi UU Perfilman” yang diselenggarakan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) di Jakarta, Rabu (5/11). Gilang diundang sebagai narasumber untuk memberikan perspektif lembaga penyiaran televisi dalam konteks revisi kebijakan perfilman nasional dslam UU Perfilman.
Dua Undang-Undang, Dua Regulator, Satu Objek
Dalam paparannya, Gilang menjelaskan bahwa saat ini konten yang disiarkan oleh lembaga penyiaran televisi diatur dan diawasi oleh dua undang-undang sekaligus, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, melalui lembaga pengawas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, melalui lembaga Lembaga Sensor Film (LSF).
Kedua undang-undang tersebut sama sama mengatur objek yang identik, yakni produk film dan iklan yang ditayangkan di televisi. Namun mekanisme pengawasan dan pelaksanaan regulasinya sering kali berjalan secara terpisah bahkan tumpang tindih.
“Akibatnya, terhadap objek film dan iklan yang sama, terjadi dua kali proses pengawasan dan penilaian. Secara preventif, film atau iklan tersebut harus disensor oleh LSF untuk memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Namun, saat atau setelah tayang program itu tetap bisa dikenai sanksi oleh KPI jika dianggap tidak sesuai dengan regulasi penyiaran KPI yaitu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS),” ujar Gilang.
Kondisi ini, lanjutnya, menciptakan “double regulatory gate” atau dua pintu pengawasan yang membebani lembaga penyiaran televisi.
Ketidakpastian Regulasi dan Ketimpangan dengan Platform Digital
Sekjen ATVSI menegaskan, keberadaan dua mekanisme pengawasan atas objek yang sama menimbulkan ketidakpastian hukum bagi lembaga penyiaran televisi.
“Bayangkan, film atau iklan yang sudah dinyatakan layak tayang oleh LSF melalui STLS tetap bisa dipersoalkan bahkan di sanksi oleh KPI. Ini menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi dalam produksi dan distribusi konten siaran,” jelasnya.
Halaman Selanjutnya
Menurut Gilang, tumpang tindih regulasi tersebut juga dapat menyebabkan distorsi terhadap kreativitas dan inovasi konten, karena produsen konten siaran menjadi ragu dalam berkreasi. “Di sisi lain platform digital yang menayangkan konten serupa tidak melalui mekanisme sensor atau pengawasan yang setara. Hal ini menimbulkan ketidakadilan regulasi di era konvergensi media,” tambahnya.

2 hours ago
2









