Jumat, 14 November 2025 - 19:00 WIB
Tokyo, VIVA – Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, wanita yang menolak keras kehidupan work life balance ini sempat terlihat datang ke kantornya pada pukul 03.00.
Insiden ini terjadi lantaran Sanae Takaichi ingin mempersiapkan debat parlemen perdananya yakni komite anggaran parlemen pada 7 November 2025 lalu. Padahal sidang tersebut baru berlangsung pada pukul 09.00 waktu setempat.
Hal ini memicu kekhawatiran publik, sebab hal ini membuat stafnya harus bekerja di dini hari. Bahkan untuk standar kerja Jepang yang terkenal keras, jam kerja yang diterapkan Takaichi ini bisa berbahaya untuk kerja berlebihan atau overwork. Terlebih, Jepang secara memprihatinkan marak diselimuti kasus karoshi, atau kematian akibat kerja berlebihan, dan saat ini sedang berupaya melonggarkan batasan jam kerja maksimum.
Sekretaris Jenderal Democratic Party for the People, Kazuyu Shimba mengkritik tindakan Sanae karena tidak memikirkan kesejahteraan staf.
“Kalau perdana menteri mulai jam 3 pagi, staf harus mulai jam 1.30 atau 2 pagi. Secara fisik itu tidak mungkin bertahan,” katanya, seperti dikutip Chosun Daily.
Alasan Sanae Datang Pagi
Melansir laman SCMP, Jumat 14 November 2025, tempat tinggal Takaichi di Tokyo diketahui hanya memilik mesin faks lama. Sehingga hal ini membuat segala urusan administratif menjadi lebih rumit.
Di sisi lain, terkait alasan Sanae belum pindah rumah dinasnya yang lebih lengkap, Takaichi menjawab bahwa ia akan pindah setelah semuanya lebih terkendali.
“Sekarang ini, bukan cuma tidak punya waktu buat berkemas … saya hampir tidak bisa tidur.”
Ia menambahkan bahwa ia berencana pindah secepatnya, tetapi harus menyelesaikan jadwalnya untuk KTT G20 di Afrika Selatan yang akan digelar pada 22–23 November.
‘Work Work and Work’
Dalam pidatonya pada 4 Oktober, setelah mengalahkan empat pesaing laki-laki untuk memimpin LDP, Takaichi menyatakan bahwa ia akan membuang istilah work-life balance.
“Saya akan bekerja, bekerja, dan bekerja,”katanya kala itu.
Komentarnya justru banyak disambut positif oleh para perempuan pekerja, menurut surat kabar Mainichi. Dalam survei yang dilakukan empat hari kemudian oleh Women Type, sebuah situs dukungan karier, 53 persen perempuan usia 20 hingga 49 tahun menilai pernyataan Takaichi secara positif.
Halaman Selanjutnya
Di sisi lain, dari 29 persen yang tidak setuju, sebagian besar khawatir komentarnya akan membuat perusahaan semakin mengabaikan work-life balance.

4 weeks ago
4









