Jakarta, VIVA – Indonesiat Police Watch (IPW) mengingatkan bahwa wacana penerapan asas Dominus Litis dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi, tetapi juga dapat menimbulkan arogansi dari lembaga Kejaksaan.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso. Ia turut menjelaskan dampak yang bisa timbul dari pemberian kewenangan absolut kepada Kejaksaan dalam penegakan hukum pidana.
Asas Dominus Litis adalah prinsip hukum yang memberi kewenangan kepada Jaksa untuk mengendalikan jalannya perkara pidana, termasuk memutuskan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan ke penuntutan atau dihentikan. Dalam hal ini, Jaksa juga memiliki hak untuk menentukan tuduhan yang akan diajukan dan argumentasi hukum yang akan digunakan.
"Jaksa memiliki kewenangan untuk melanjutkan perkara ke penuntutan, menentukan tuduhan, dan bahkan argumen hukum yang akan diterapkan," ungkap Sugeng dalam keterangan tertulis, diterima VIVA Sabtu, 8 Februari 2025.
Namun, dalam RUU KUHAP yang sedang dibahas, asas Dominus Litis ini ternyata diperluas. Pasal 28 dan 30 dalam RUU KUHAP memberikan Jaksa kewenangan untuk mengintervensi dan mengontrol proses penyidikan. Misalnya, Jaksa dapat meminta penyidikan dilakukan, meminta penangkapan, penahanan, dan bahkan memutuskan penghentian penyidikan dengan persetujuan tertulis dari Jaksa. Sugeng menyebutkan bahwa ketentuan ini membuat Kejaksaan memperoleh posisi yang sangat kuat dalam proses hukum pidana, yang dapat menggusur kewenangan Polri sebagai penyelidik dan penyidik.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso (Doc: istimewa)
Photo :
- VIVA.co.id/Natania Longdong
Lebih lanjut, Sugeng menilai penerapan asas Dominus Litis dalam RUU KUHAP ini berpotensi menciptakan kewenangan absolut bagi Kejaksaan, yang menurutnya rawan disalahgunakan. "Kewenangan absolut selalu memiliki celah untuk penyelewengan kekuasaan,” kata Sugeng, yang mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan politik hukum di Indonesia.
Sugeng juga menegaskan bahwa memperluas kewenangan Jaksa dalam konteks Dominus Litis tidak sama dengan prinsip Check and Balances yang seharusnya ada dalam sistem hukum. Check and Balances mengharuskan adanya kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga negara. Dalam konteks ini, Sugeng mengusulkan agar hal-hal seperti penangkapan dan penahanan tidak lagi menjadi kewenangan Jaksa, melainkan kewenangan Hakim Komisaris yang berasal dari lembaga Yudikatif. Dengan cara ini, kontrol terhadap penyidikan dan proses hukum akan tetap terjaga tanpa memberikan kekuasaan yang berlebihan kepada satu lembaga negara.
Sugeng juga mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia telah dengan jelas memisahkan kewenangan antara lembaga negara. Pasal 24 dan 30 UUD 1945 secara tegas mengatur bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan sebagai penuntut umum di pengadilan, sementara Polri memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Pemberian kewenangan yang tidak proporsional kepada Kejaksaan, seperti dalam RUU KUHAP, dapat merusak keseimbangan ini dan menciptakan ketidaksetaraan antara lembaga negara yang seharusnya setara.
Sugeng menekankan bahwa jika kewenangan Dominus Litis dalam RUU KUHAP diterapkan, itu bisa mengarah pada arogansi Kejaksaan sebagai lembaga negara yang merasa memiliki kewenangan lebih besar dibandingkan Polri. "Arogansi lembaga negara ini bisa merusak hubungan antar lembaga dan menimbulkan ketegangan,” ujar Sugeng.
Terakhir, Sugeng mengingatkan bahwa perubahan dalam undang-undang harus bertujuan untuk memperbaiki sistem hukum dan bukan sekadar mengakomodasi kepentingan sesaat. Ia menyarankan agar perbaikan sistem dilakukan dengan memperkuat fungsi pengawasan internal dan eksternal lembaga negara serta menegakkan disiplin kepada para anggota yang melanggar aturan, bukan dengan mengubah kewenangan yang sudah diatur dalam konstitusi.
"Jika Dominus Litis ini diterapkan sembarangan, bertentangan dengan konstitusi, maka kita akan menghadapi masalah besar dalam politik hukum kita,” ujar Sugeng menutup penjelasannya.
Halaman Selanjutnya
Sugeng juga menegaskan bahwa memperluas kewenangan Jaksa dalam konteks Dominus Litis tidak sama dengan prinsip Check and Balances yang seharusnya ada dalam sistem hukum. Check and Balances mengharuskan adanya kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga negara. Dalam konteks ini, Sugeng mengusulkan agar hal-hal seperti penangkapan dan penahanan tidak lagi menjadi kewenangan Jaksa, melainkan kewenangan Hakim Komisaris yang berasal dari lembaga Yudikatif. Dengan cara ini, kontrol terhadap penyidikan dan proses hukum akan tetap terjaga tanpa memberikan kekuasaan yang berlebihan kepada satu lembaga negara.