Jakarta, VIVA – Aroma khas, rasa umami yang lembut, dan warna hijau cerah, membuat matcha menjadi pilihan utama dalam minuman latte dan berbagai kudapan. 'Demam matcha' itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Ya, matcha, bubuk teh hijau asal Jepang yang dibuat dari daun tencha muda tanaman Camellia sinensis, kini mengalami lonjakan permintaan yang luar biasa. Lonjakan ini, dipicu oleh tren TikTok yang menampilkan resep matcha latte rumahan hingga konten ulasan merek-merek matcha.
Asosiasi Teh Jepang Global yang berbasis di Kyoto menyebut, situasi ini sebagai krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kami mengalami kekurangan matcha sejak musim gugur tahun lalu,” ujar Anna Poian, salah satu pendiri asosiasi tersebut, seperti dikutip dari ABC, Rabu, 16 Juli 2025.
Lonjakan ini bahkan melebihi momen saat Häagen-Dazs meluncurkan es krim teh hijau pada 1990-an atau saat Starbucks memperkenalkan matcha latte di awal 2000-an. Poian menambahkan bahwa booming pariwisata Jepang pasca-COVID turut memperburuk situasi.
“Banyak turis asing membeli matcha dalam jumlah besar sebagai oleh-oleh, bahkan ada yang menjualnya kembali.”
Harga Lelang Pecah Rekor, Produsen Berlakukan Batas Pembelian
Kunjungan ke Jepang mencapai rekor 36 juta orang pada 2024. Tak heran, merek-merek populer seperti Ippodo Tea mengaku, permintaan merek mereka melebihi semua ekspektasi.
Harga lelang teh pertama di Kyoto tahun ini menunjukkan lonjakan harga tencha atau bahan baku matcha ini hingga dua kali lipat, menyentuh angka 8.000 yen atau sekitar Rp1,42 juta per kilogram, tertinggi dalam sejarah.
Produsen kenamaan seperti Marukyu Koyamaen juga telah mengumumkan kenaikan harga sebesar 50–60 persen mulai Juli. Yukino Matsumoto, pemilik Simply Native yang mengimpor matcha untuk kafe dan restoran di Australia, mengatakan bahwa jika ia tidak segera mengamankan stok, besoknya Anda tidak bisa dapat 500 kg matcha.
“Penjualan kami naik tiga kali lipat, tapi biaya juga hampir dua kali lipat,” katanya. "Kita semua merasakan dampaknya, produsen, distributor, dan pelanggan. Harga pasti akan naik," tambahnya.
Pasokan Sulit Ditambah, Ditambah Panen Terhambat Cuaca
Menurut pemerintah Prefektur Kyoto, permintaan ekspor kini jauh melebihi target nasional 15.000 ton pada 2030. Padahal, matcha menyumbang lebih dari setengah dari total 8.798 ton ekspor teh hijau Jepang pada 2023, dua kali lipat dari satu dekade lalu.
Namun, meningkatkan produksi matcha tidak semudah menanam lebih banyak. Profesor agronomi dari Universitas Sydney, Daniel Tan, menjelaskan bahwa matcha berkualitas tinggi hanya dipanen setahun sekali dan proses produksinya sangat khusus, termasuk penggilingan tradisional batu yang hanya menghasilkan 40 gram per jam.
Cuaca ekstrem seperti embun beku juga membuat panen merosot hingga 30 persen di beberapa wilayah.
Matsumoto memperkirakan, krisis matcha bisa bertahan bertahun-tahun. “Saya sangat tidak yakin apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan, dan itu membuat sulit untuk merencanakan.”
Namun satu hal yang pasti, krisis matcha ini telah menjadi tantangan baru bagi bisnis kuliner global, dan para pecinta matcha harus bersiap menghadapi harga yang terus merangkak naik.
Halaman Selanjutnya
Kunjungan ke Jepang mencapai rekor 36 juta orang pada 2024. Tak heran, merek-merek populer seperti Ippodo Tea mengaku, permintaan merek mereka melebihi semua ekspektasi.