Mengenal Tren Taskmasking di Kalangan Gen Z, Apa Dampaknya Bagi Dunia Kerja?

3 hours ago 1

Sabtu, 15 Maret 2025 - 15:57 WIB

Jakarta, VIVA – Seiring berjalannya waktu, pola kerja terus mengalami perubahan. Jika dulu pekerja diharuskan untuk hadir di kantor selama delapan jam penuh, kini model kerja hybrid semakin populer, terutama setelah pandemi COVID-19.

Banyak perusahaan memberikan fleksibilitas bagi karyawan untuk bekerja dari rumah selama beberapa hari dalam seminggu. Cara ini diklaim dapat meningkatkan keseimbangan hidup dan pekerjaan.

Namun, di balik kenyamanan tersebut, muncul tren baru di kalangan pekerja, terutama generasi muda, yakni taskmasking. Istilah ini merujuk pada kebiasaan berpura-pura sibuk agar terlihat produktif di hadapan atasan atau rekan kerja.

Dalam lingkungan kerja hybrid, di mana pengawasan langsung semakin berkurang, banyak karyawan yang mencari cara agar tetap terlihat aktif, meskipun tidak selalu benar-benar bekerja. Berikut informasi lengkapnya seperti dirangkum dari Thred, Jumat, 14 Maret 2025.

Apa Itu Taskmasking?

Taskmasking bukanlah fenomena baru. Sejak era kantor modern, pekerja seringkali melakukan berbagai trik untuk mengesankan atasan, mulai dari membuka banyak tab kerja di komputer hingga menghadiri rapat yang sebenarnya tidak begitu penting.

Namun, di era kerja hybrid, tren ini semakin berkembang karena sistem pemantauan yang lebih longgar dibandingkan dengan kerja konvensional di kantor.

Alasan utama di balik taskmasking, adalah ekspektasi yang tidak realistis dari perusahaan. Banyak perusahaan masih menggunakan standar kerja lama, yaitu mengukur produktivitas berdasarkan jumlah jam kerja, bukan hasil yang dicapai.

Akibatnya, karyawan merasa harus selalu "terlihat sibuk," meskipun tidak ada pekerjaan yang benar-benar mendesak. Ditambah lagi dengan tekanan dari budaya hustle, di mana seseorang dinilai dari seberapa keras mereka bekerja, bukan seberapa efektif mereka menyelesaikan tugasnya.

Berdampak Positif atau Negatif?

Di satu sisi, taskmasking dapat memberikan rasa aman bagi karyawan yang ingin mempertahankan citra profesionalnya tanpa harus benar-benar bekerja berlebihan. Namun, di sisi lain, kebiasaan ini bisa merugikan produktivitas jangka panjang.

Pekerja yang terlalu fokus pada pencitraan, bisa kehilangan fokus terhadap tugas-tugas utama mereka. Selain itu, jika perusahaan mulai menyadari tren ini, mereka mungkin akan memberlakukan sistem pemantauan yang lebih ketat, seperti pelacakan aktivitas komputer atau laporan kinerja yang lebih sering.

Solusi terbaik untuk mengatasi taskmasking adalah dengan mengubah cara pandang terhadap produktivitas. Jadi, daripada menuntut karyawan untuk selalu terlihat sibuk, perusahaan seharusnya lebih menekankan pada hasil kerja yang nyata. Sistem kerja berbasis output, di mana kinerja dinilai berdasarkan hasil yang dicapai, bukan jumlah jam yang dihabiskan di depan layar, bisa menjadi langkah yang lebih efektif.

Halaman Selanjutnya

Alasan utama di balik taskmasking, adalah ekspektasi yang tidak realistis dari perusahaan. Banyak perusahaan masih menggunakan standar kerja lama, yaitu mengukur produktivitas berdasarkan jumlah jam kerja, bukan hasil yang dicapai.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |