Munas Alim Ulama NU: Laut Tak Bisa Dimiliki Individu dan Korporasi

4 hours ago 2

Kamis, 6 Februari 2025 - 23:03 WIB

Jakarta, VIVA — Dalam Sidang Pleno Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta pada Kamis, 6 Februari 2025, Kiai Cholil Nafis, Ketua Sidang Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah, secara tegas menyatakan bahwa laut tidak boleh dimiliki oleh individu maupun korporasi.

Ia menegaskan bahwa laut sebagai sumber daya alam yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan ekosistem, tidak bisa dijadikan hak milik secara penuh.

“Laut tidak bisa dikapling atau dimiliki oleh individu atau korporasi, baik dalam konteks hak milik pribadi maupun hukum. Ini adalah posisi yang jelas dari Munas Alim Ulama NU,” ungkap Kiai Cholil.

Hal ini merujuk pada pandangan NU yang menilai bahwa negara tidak seharusnya memberikan sertifikat kepemilikan laut atau Hak Guna Bangunan (HGB) kepada pihak manapun. Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan pentingnya pelestarian ekosistem laut serta keberlanjutan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Kiai Cholil juga menjelaskan bahwa meskipun laut tidak bisa dimiliki, laut tetap bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. “Sebagai contoh, kita melihat di Kepulauan Seribu, Jakarta, ada tambak ikan bandeng yang memanfaatkan laut untuk budidaya ikan. Itu adalah bentuk pemanfaatan laut yang diperbolehkan, asalkan tidak merusak ekosistemnya,” tambahnya.

Namun, meskipun laut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, seperti perikanan, budidaya ikan, atau pariwisata, Kiai Cholil menegaskan bahwa hak kepemilikan penuh tetap tidak diperbolehkan. Negara, menurutnya, hanya dapat memberikan izin untuk pemanfaatan laut, namun dengan syarat bahwa kegiatan tersebut tidak merugikan masyarakat atau lingkungan.

Hal senada juga disampaikan oleh KH Mahbub Ma’afi, Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Waqi’iyah, yang menegaskan bahwa konsep kepemilikan atas laut bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian alam dan keberlanjutan ekosistem.

“Laut adalah bagian dari ekosistem global yang harus dijaga. Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan atas laut, karena ini dapat merusak keseimbangan alam,” ujarnya.

Dalam diskusi tersebut, KH Mahbub juga mengingatkan bahwa konsep “ihyaul mawat” yang diterapkan pada tanah tak bertuan, yang memungkinkan individu atau entitas mengklaimnya, tidak dapat diterapkan pada laut. “Laut bukanlah wilayah yang bisa diolah seperti tanah kosong. Tidak ada ihya’ul mawat dalam laut,” tegasnya.

Keputusan ini sejalan dengan komitmen NU untuk mendukung pelestarian alam dan memastikan bahwa sumber daya laut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepemilikan pribadi atau korporasi.

Hal ini juga menjadi bagian dari upaya memperkuat peran negara dalam mengelola sumber daya alam secara adil dan bijaksana, dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.
 

Halaman Selanjutnya

“Laut adalah bagian dari ekosistem global yang harus dijaga. Negara tidak boleh menerbitkan sertifikat kepemilikan atas laut, karena ini dapat merusak keseimbangan alam,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |