Selasa, 1 Juli 2025 - 06:57 WIB
VIVA – Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya dan suku bangsa. Salah satu suku yang memiliki ciri khas dan identitas kuat adalah Suku Laut, yang tersebar di wilayah Riau dan Kepulauan Riau. Suku ini hidup sangat dekat dan menyatu dengan laut, baik secara fisik maupun spiritual. Bagi mereka, laut bukan sekadar tempat mencari nafkah, melainkan sumber kehidupan, cahaya, dan bahkan masa depan. Meski sebagian dari mereka telah menetap di darat, lautan tetap menjadi tempat kembali yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Ungkapan sederhana dari mereka adalah: "tak ada kehidupan tanpa laut."
Dalam beberapa tahun terakhir, Nukila Evanty, seorang aktivis hak-hak masyarakat adat sekaligus Ketua Inisiasi Masyarakat Adat (IMA), telah turun langsung melakukan penelitian, advokasi, dan penguatan kapasitas untuk Suku Laut di Kepulauan Riau. Upaya ini dilakukan di tengah ancaman serius dari berbagai proyek pembangunan, industri ekstraktif yang semakin meluas, serta praktik illegal fishing yang kian merajalela.
Kehidupan Suku Laut terbagi antara laut dan pesisir. Mereka yang tinggal di laut umumnya hidup di atas perahu dan berpindah-pindah lokasi, menjalani kehidupan nomaden sebagai nelayan tradisional. Perahu mereka beratapkan kajang—atap dari daun rumbia—yang bukan hanya berfungsi sebagai pelindung, tapi juga sebagai simbol keluarga dan kebanggaan.
Di sisi lain, Suku Laut yang tinggal di wilayah pesisir biasanya menetap di rumah-rumah panggung yang berdiri di tepi atau di atas air laut. Meski lebih menetap, mata pencaharian mereka tetap bergantung pada laut, seperti menangkap ikan, berdagang hasil laut, dan kegiatan ekonomi kelautan lainnya.
Tradisi turun-temurun tetap dijaga, salah satunya teknik menangkap ikan dengan cara menombak pada malam hari, setelah pukul 12, dengan penerangan dari lampu petromak. Hasil tangkapan biasanya ditukar dengan beras. Namun, praktik ini semakin sulit dilakukan karena keberadaan kapal-kapal besar dengan alat tangkap destruktif seperti pukat harimau yang merusak habitat ikan.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya kegiatan penangkapan ikan ilegal dan pencemaran laut oleh limbah industri. Hal ini diungkapkan langsung oleh Amid, salah satu anggota Suku Laut yang tinggal di rumah panggung di Teluk Paku, Pulau Batam.
“Saat kami melaut dan bertemu dengan kapal-kapal besar, biasanya kami tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal kami tahu mereka menangkap ikan secara ilegal, tapi kami duga mereka punya bekingan. Kalau kami lapor, tidak digubris,” tutur Amid.
Tak hanya itu, pembangunan kawasan ekonomi terpadu di pesisir yang mengabaikan aspek lingkungan dan sosial budaya juga memperburuk situasi. Menurut Nukila, aktivitas ini menyebabkan sedimentasi yang signifikan di perairan pesisir. “Dulu, baru melaut beberapa meter dari garis pantai, ikan sudah bisa didapatkan. Sekarang, hasilnya sangat minim, bahkan pernah seharian melaut tanpa mendapat satu ekor pun,” jelasnya.
Melihat kenyataan di lapangan, Nukila menyerukan perhatian serius dari pemerintah. Jumlah Suku Laut semakin menurun dan eksistensi mereka terancam. Oleh karena itu, ada beberapa rekomendasi penting yang disampaikan untuk melindungi keberlanjutan hidup mereka:
1. Penyediaan air bersih – Air laut yang telah tercemar membuat kebutuhan dasar ini sulit terpenuhi.
2. Pendidikan untuk anak-anak Suku Laut – Perlu didatangkan guru-guru ke daerah pesisir untuk mengatasi tingginya angka buta huruf.
3. Menjadikan Suku Laut sebagai penjaga laut – Inisiatif ini sudah mulai dijalankan oleh IMA di Pulau Natuna dan Anambas, di mana masyarakat adat dilibatkan sebagai pelindung ekosistem laut.
4. Penguatan ekonomi perempuan dan akses ekonomi masyarakat – Mendorong kemandirian dan ketahanan ekonomi berbasis komunitas.
5. Perlindungan terhadap identitas budaya dan kearifan lokal – Termasuk pelestarian bahasa, ritual, serta mata pencaharian tradisional mereka.
Halaman Selanjutnya
Tak hanya itu, pembangunan kawasan ekonomi terpadu di pesisir yang mengabaikan aspek lingkungan dan sosial budaya juga memperburuk situasi. Menurut Nukila, aktivitas ini menyebabkan sedimentasi yang signifikan di perairan pesisir. “Dulu, baru melaut beberapa meter dari garis pantai, ikan sudah bisa didapatkan. Sekarang, hasilnya sangat minim, bahkan pernah seharian melaut tanpa mendapat satu ekor pun,” jelasnya.