Seoul, VIVA – Pemilihan presiden Korea Selatan yang digelar pada Selasa, 3 Juni 2025, dinilai sebagai momen penentu yang dapat secara mendasar mengubah jabatan tertinggi di negara tersebut.
Dua kandidat utama, Lee Jae-myung dari Partai Demokratik Korea (DPK) dan Kim Moon-soo dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP), sama-sama mengusung reformasi konstitusi, namun dengan visi yang sangat berbeda.
Warga Korea Selatan (Korsel) melakukan pemungutan suara Pemilu 2025
Isu sentral pemilu kali ini tak sekadar soal siapa yang akan menjadi presiden berikutnya, tetapi bagaimana bentuk kekuasaan presiden akan didefinisikan ulang untuk generasi mendatang.
Perdebatan yang berlangsung sengit telah meluas hingga menyentuh fondasi pemerintahan, termasuk masa jabatan presiden dan struktur cabang eksekutif.
Meski keduanya sepakat akan perlunya membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat desentralisasi, usulan mereka tentang bagaimana mencapainya berbeda tajam.
Lee Jae-myung mengusulkan masa jabatan presiden empat tahun yang bisa diperpanjang satu kali, menggantikan sistem lima tahun tanpa pemilihan ulang yang berlaku saat ini. Ia menilai perubahan ini akan memperkuat akuntabilitas politik dan distribusi kekuasaan.
"Mengizinkan pemilihan ulang akan memungkinkan penilaian kinerja pemerintahan pada pertengahan masa jabatan, sehingga memperkuat akuntabilitas politik,” kata Lee, dikutip dari Korea Times.
Sebagai langkah tambahan untuk meningkatkan legitimasi demokrasi dan meredam polarisasi, Lee juga mengusulkan sistem pemungutan suara dua putaran dalam pemilihan presiden.
Dalam kerangka memperkuat sistem parlementer, Lee ingin agar perdana menteri diangkat berdasarkan rekomendasi Majelis Nasional.
Ia juga berencana membatasi hak veto presiden terhadap undang-undang yang berkaitan dengan kejahatan presiden atau keluarganya.
Di sisi lain, Kim Moon-soo mengusulkan sistem presidensial dua periode empat tahun. Ia menilai sistem satu periode lima tahun telah menghambat akuntabilitas dan stabilitas jangka panjang.
"Struktur yang ada menghambat akuntabilitas politik dan merusak stabilitas jangka panjang,” kata Kim.
Sebagai bagian dari reformasi, Kim berkomitmen menghapus kekebalan hukum presiden saat menjabat dan menunjuk inspektur khusus atas rekomendasi oposisi.
Kandidat capres pada Pemilu Korea Selatan
Ia juga mengusulkan pemangkasan 10 persen jumlah anggota parlemen dan penghapusan hak istimewa mereka.
Meskipun keduanya mendukung pengurangan masa jabatan presiden menjadi empat tahun, istilah dan interpretasi masing-masing menuai kontroversi.
Usulan Lee tentang masa jabatan “berturut-turut” dikritik Kim karena berpotensi membuka celah bagi seorang presiden menjabat dua periode, istirahat, lalu kembali mencalonkan diri.
Kim juga mendesak Lee untuk mengklarifikasi posisinya, seraya menjelaskan bahwa sistem dua periode miliknya akan memungkinkan satu kali pemilihan ulang, tetapi secara ketat membatasi total masa jabatan presiden menjadi delapan tahun.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Rep. Yun Ho-jung dari DPK menegaskan, "Usulan Lee hanya memungkinkan satu kali pemilihan ulang berturut-turut dan tidak mencakup ketentuan apa pun untuk kembali menjabat setelah istirahat.”
Perbedaan signifikan juga muncul dalam jadwal pelaksanaan reformasi. Lee mengusulkan referendum konstitusi bertepatan dengan pemilu lokal tahun depan atau pemilu legislatif 2028.
Di bawah skenario ini, presiden yang terpilih tahun ini akan tetap menjabat selama lima tahun dan menjadi yang terakhir di bawah sistem lama.
Sementara itu, Kim mendorong perubahan lebih cepat dengan memangkas masa jabatan presiden berikutnya menjadi tiga tahun agar sinkron dengan pemilu legislatif pada 2028.
“Sebagai langkah menuju reformasi politik, Kim berjanji untuk mendorong amandemen konstitusi dan, jika terpilih, hanya akan menjabat selama tiga tahun.”
Dengan dua visi besar yang saling bertolak belakang, pemilu kali ini bukan hanya soal memilih presiden, tetapi juga masa depan sistem pemerintahan Korea Selatan.
Halaman Selanjutnya
"Mengizinkan pemilihan ulang akan memungkinkan penilaian kinerja pemerintahan pada pertengahan masa jabatan, sehingga memperkuat akuntabilitas politik,” kata Lee, dikutip dari Korea Times.