Jakarta, VIVA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan, akan memanggil Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait peserta asuransi kesehatan wajib menanggung biaya (co-payment) paling sedikit 10 persen dari total nilai pengajuan klaim.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengaku, kebijakan co-payment belum pernah dibahas bersama DPR. Untuk itu, Komisi XI DPR akan memanggil OJK guna menanyakan alasan dari keputusan tersebut.
"Kita ingin, saya nanti akan mengajak pimpinan yang lain, mengagendakan rapat dengan OJK untuk mengetahui dasar, alasan, dan argumentasi kenapa OJK merencanakan ini," ujar Misbakhun di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Juni 2025.
Ilustrasi Asuransi Kesehatan
Photo :
- freepik.com/jcomp
Misbakhun mengatakan, berdasarkan informasi yang didapatnya, pembayaran klaim asuransi saat ini meledak. Sehingga hal tersebut memberi tekanan terhadap kesehatan dari industri asuransi.
"Jangan sampai (aturan asuransi) kemudian memberikan tekanan balik terhadap industri itu, tentang kepercayaan kepada industri asuransi yang pada saat ini sedang kita upayakan membangun kembali kepercayaan konsumen masyarakat kepada industri asuransi," ujarnya.
"Karena pada saat masyarakat membeli polis asuransi itu kan ada perjanjian-perjanjian di dalam polis, yang seharusnya itu cukup memadai untuk kemudian tidak terbit aturan co-payment itu. Kenapa masih perlu? Harusnya polis itu kan hubungan bisnis bilateral antara pemegang polis dengan perusahaan asuransi," tambahnya.
Misbakun juga turut mempertanyatakan, alasan OJK mengeluarkan aturan spesifik mengenai co-payment. Dia menilai, otoritas seharusnya menyusun aturan untuk membangun industri asuransi yang sehat, memberikan perlindungan kepada konsumen dan melakukan tugas-tugas pengawasan.
"Nah nanti kita tanyakan kenapa tiba-tiba lahir aturan itu. Padahal kan secara khusus spesifik ini kan sebenarnya harusnya tidak ke sana," imbuhnya.
Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Surat Edaran (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025, tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dalam SE itu tertulis bahwa produk asuransi kesehatan harus memiliki skema co-payment atau pembagian risiko.
Adapun dalam aturan tersebut, produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim.
Untuk batasan maksimum pengajuan klaim sebesar Rp 300.000 per pengajuan klaim untuk rawat jalan, dan Rp 3 juta per pengajuan klaim untuk rawat inap.
"Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dapat menerapkan batas maksimum sebagaimana dimaksud pada angka 3 huruf a dan b yang lebih tinggi sepanjang disepakati antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan Unit Syariah pada Perusahaan Asuransi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta serta telah dinyatakan dalam Polis Asuransi," tulis SE OJK tersebut.
Meski produk asuransi kesehatan tersebut digabung dengan asuransi lain dalam sistem koordinasi manfaat, nilai pembagian resikonya paling sedikit sebesar 10 persen dari total pengajuan klaim dihitung dari total pengajuan klaim yang menjadi kewajiban perusahaan asuransi.
Aturan ini menerangkan, co-payment hanya berlaku untuk produk asuransi Kesehatan dengan prinsip ganti rugi (indemnity), dan produk asuransi kesehatan dengan skema pelayanan kesehatan yang terkelola (managed care). Namun demikian, co-payment dikecualikan untuk produk asuransi mikro.
Selanjutnya, perusahaan asuransi memiliki kewenangan untuk meninjau dan menetapkan premi dan kontribusi kembali (repricing) pada saat perpanjangan polis asuransi berdasarkan riwayat klaim pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Halaman Selanjutnya
Misbakun juga turut mempertanyatakan, alasan OJK mengeluarkan aturan spesifik mengenai co-payment. Dia menilai, otoritas seharusnya menyusun aturan untuk membangun industri asuransi yang sehat, memberikan perlindungan kepada konsumen dan melakukan tugas-tugas pengawasan.