Makassar, VIVA – Di usia 16 tahun, Nur Aini Rasmania Putri harus memikul beban yang tidak seharusnya dipikul seorang remaja. Ia menjadi satu-satunya tumpuan hidup sang nenek, Andi Supatma (75), yang kini terbaring lemah di rumah semi permanen mereka di Jalan Teuku Umar 13, Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Semua terjadi sejak kedua orang tuanya, bersama dua tante Nur Aini, ditahan akibat perkara sengketa warisan.
“Sudah ada dua bulan. Biasa saya masak nasi. Kalau saya pergi sekolah sendiri nenek. Saya baru masuk SMA di Sinassara SMA Datri. Semenjak diambil (ditahan) mama, saya sendiri yang merawat nenek,” kata Nur Aini dengan suara lirih, mencoba menahan air mata.
Nur Aini Rasmania Putri (16) yang masih duduk di bangku SMA merawat neneknya
Photo :
- Idris Tajannang/tvOne
Kehidupan mereka berubah drastis sejak 27 Mei 2025, ketika Dedy Syamsuddin (48), Yuliati (45) – orang tua Nur Aini – serta dua saudari Dedy, yakni Melyana (44) dan Mulyana (42), ditahan karena kasus perusakan dalam sengketa hak warisan. Sejak saat itu, rumah mereka menjadi sunyi. Tidak ada lagi suara anak-anak bermain, tak ada lagi tawa keluarga besar. Yang tersisa hanyalah Nur Aini dan neneknya, serta ketidakpastian.
“Ituji, sepi rumah. Saya harap ada sisi kemanusiaan. Ditangguhkan orang tua. Dulu orang tua yang mandi nenek, sekarang tinggal saya sendiri,” ucap Nur Aini pelan.
Nur Aini harus membagi waktunya antara sekolah dan merawat neneknya yang sudah tak bisa beraktivitas sendiri. Tak jarang ia harus pulang lebih awal dari sekolah, bahkan absen, demi memastikan sang nenek makan atau buang air dengan dibantu.
Sesekali, bantuan datang dari kerabat jauh, Syamsiah (51), yang sesekali datang membawakan makanan. Tapi tak selalu bisa diandalkan.
“Begitu, kue kadang-kadang bubur. Kalau saya sempat lagi datang lihat, ku bawakan bubur. Kalau tidak, kasian, biskuit saja dia makan sambil dicelupkan di air putih,” ucap Syamsiah dengan suara getir.
Ia mengenal betul bagaimana kondisi rumah tersebut. Rumah reyot itu kini hanya diisi dua jiwa rapuh. Ia pun berharap hukum bisa melihat sisi kemanusiaan dari perkara ini.
“Harapan saya kalau saya mudah-mudahan ada keadilan untuk ini orang tua, kasihan bagaimana mi. Kita lihat sendiri keadaannya tidak bisa buat apa-apa,” tuturnya.
Menurut kuasa hukum keluarga, Sya’ban Sartono, perkara ini bermula dari konflik sengketa tanah warisan. Kliennya, kata dia, hanya berusaha mempertahankan hak mereka sebagai ahli waris saat melihat ada pembangunan di atas tanah sengketa oleh pihak lain.
“Mulanya ini adalah terkait sengketa hak dalam hak waris. Kemudian tiba-tiba ada omnya dari keempat terdakwa ini menjual tanah tersebut. Karena mereka melihat ada pembangunan pondasi, mereka cegat,” ujar Sya’ban.
Peristiwa itu terekam dalam video dan dilaporkan ke polisi pada 2021, namun tidak segera diproses. Tiba-tiba, pada 2025 kasus ini dibuka kembali, dan keempat orang tersebut langsung ditahan.
“Kasusnya kemudian tiba-tiba hening. Di 2025 dipanggil untuk diperiksa, dan langsung dilimpahkan tahap dua ke kejaksaan. Saat itu langsung ditahan. Mereka kaget, trauma. Bahkan Muliana pingsan dan tetap dipaksa dipapah masuk mobil tahanan,” jelasnya.
Sya’ban juga menyoroti lambannya respons terhadap permohonan penangguhan penahanan. Ia menilai penahanan dalam perkara yang seharusnya bersifat perdata ini seharusnya tidak perlu dilakukan, mengingat kondisi keluarga terdakwa yang amat memprihatinkan.
“Kami sudah meminta bahkan beberapa kali dan berulang kali di pengadilan untuk ditangguhkan atau dialihkan penahanannya menjadi tahanan kota. Menimbang bahwa kondisi ini sangat memprihatinkan, ada nyawa yang harus diselamatkan, maka kita minta keadilan,” ujarnya. (Idris Tajannang/tvOne/Sulsel)
Halaman Selanjutnya
“Harapan saya kalau saya mudah-mudahan ada keadilan untuk ini orang tua, kasihan bagaimana mi. Kita lihat sendiri keadaannya tidak bisa buat apa-apa,” tuturnya.