Sidang Hasto, Ahli Bahasa: Teks Komunikasi dalam Kasus Korupsi Penuh Teka Teki, Tidak Transparan

1 day ago 3

Jakarta, VIVA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Indonesia (UI) Dr. Frans Asisi Datang dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan PAW DPR dengan terdakwa Hasto Kristiyanto. Frans Asisi memberikan keterangannya terkait komunikasi dalam dunia politik.

Frans dalam persidangan mengatakan semakin tinggi jabatan maka akan semakin rumit komunikasinya. Ia bilang mesti ada analisis lebih dulu untuk memahaminya.

Dia menyampaikan demikian berawal dari pertanyaan jaksa kepada ahli mengenai penyusunan kalimat dalam komunikasi politik. 

"Dalam menyusun kata-kata, kalimat dalam komunikasi WA, apakah juga tadi basic. Kalau tadi ahli juga sampaikan ada latar belakang, keilmuan," kata jaksa di ruang sidang, Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis, 12 Juni 2025.

"Kemudian, wawasan pengetahuan, level jabatan, status sosial, apakah itu juga menjadi bagian dalam isi kata-kata penentuan, kata-kata penyusunan kalimat dalam teks WA misalnya?" lanjut jaksa mengajukan pertanyaan.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto bersama tim penasihat hukum di persidangan.

Photo :

  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

Frans pun menjawab dengan kalimat yang digunakan dalam komunikasi politik atau korupsi penuh dengan teka-teki. Salah satu kasus yang disinggung dan pernah dialaminya yakni kasus dugaan rasuah yang menjerat eks Sekjen Partai Golkar Idrus Marham.

"Jadi, misalnya satu kasus yang saya sebutkan, kasus korupsi yang melibatkan mantan Sekjen Golkar. Saya juga ahlinya, dan saya waktu itu bisa menjelaskan arti kalimat-kalimat itu, dan yang paling. Dan, yang saya alami dalam kasus-kasus korupsi adalah, atau pengalaman saya, teks-teks itu penuh teka-teki, tidak transparan, tidak lugas seperti percakapan biasa," jelas Frans.

"Dan, untuk hal seperti ini, sebagai ahli, saya punya pengalaman bahwa teks-teks yang berkaitan dengan politik, sosial, korupsi, dan lain-lain, itu harus diteliti lebih jauh, tidak sederhana," ujar Frans.

Kemudian, jaksa menanyakan penyusunan kata yang terjadi di WhatsApp antara atasan dengan bawahannya. Jaksa mempertanyakan isi komunikasi itu akan semakin rumit atau tidak.

Frans bilang jika komunikasi semakin tinggi level jabatan maka semakin rumit. Dengan demikian, harus ada proses analisis mendalam lebih dulu.

"Kalau pengalaman saya, semakin tinggi jabatan, semakin berusaha untuk menyampaikan sesuatu secara rumit. Jadi, harus dianalisis," jelas Frans.

"Misalnya bahasa politik, ketika seorang menteri berbicara misalnya akan diamankan. Itu bukan berarti harafiah, seperti kata aman, bisa berarti akan diteruskan atau akan dihentikan," lanjutnya.

Pun, kata dia, bahasa politik penuh dengan makna konotatif. Maka itu perlu dipahami secara politik, dimana setiap penggunaan bahasa perlu dipahami konteksnya. 

Kemudian, jaksa menanyakan terkait konteks tersebut telah dipahami kedua pihak atau belum. Frans menjawab jika konteks pasti telah dipahami keduanya.

"Pendapat ahli, untuk konteks komunikasi dengan tadi basic keilmuan, jabatan dan sebagainya, apakah kedua belah pihak ini komunikasi pasti tahu konteks apa yang dikomunikasikan dalam percakapan itu? Tolong dijelaskan," tanya jaksa.

"Betul sekali. Jadi, dalam konteks antara dua pembicara atau lebih di dalam sebuah WA misalnya percakapan WA atau percakapan langsung pun, orang bisa menggunakan kata-kata yang sudah dipahami oleh keduanya atau orang satu kelompok itu," jelas Frans.

"Jadi, konteksnya itu mereka pasti sudah paham. Tidak mungkin tiba-tiba membicarakan sesuatu jadi tanpa konteks," tuturnya.

"Kalau seperti itu pasti dari satu pihak mengatakan, 'ini dalam hal apa? Ini kaitannya apa? Ini maksudnya apa?' Kalau pertanyaan seperti itu berarti yang satu pihak mendengar misalnya atau lawan bicaranya itu belum masuk di dalam konteks. Tapi kalau dia katakan 'oke, oh iya setuju, mantap', atau apalah, itu berarti dia sama konteksnya dengan si pembicara itu," ujar Frans.

Halaman Selanjutnya

"Jadi, misalnya satu kasus yang saya sebutkan, kasus korupsi yang melibatkan mantan Sekjen Golkar. Saya juga ahlinya, dan saya waktu itu bisa menjelaskan arti kalimat-kalimat itu, dan yang paling. Dan, yang saya alami dalam kasus-kasus korupsi adalah, atau pengalaman saya, teks-teks itu penuh teka-teki, tidak transparan, tidak lugas seperti percakapan biasa," jelas Frans.

Halaman Selanjutnya

Read Entire Article
Sindikasi | Jateng | Apps |