Jakarta, VIVA – Pendidikan kritis soal transisi energi baru terbarukan semakin krusial. Sebab, krisis iklim menjadi tantangan yang akan semakin masif dihadapi generasi muda, khususnya Gen Z, di masa mendatang.
Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) menyatakan 2024 sebagai tahun paling panas dalam catatan dan diikuti peristiwa El-Nino yang berlangsung sejak akhir 2023 sampai 2024.
Kenaikan suhu ini dipengaruhi oleh pelepasan karbondioksida (CO2) di atmosfer yang meningkat akibat penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara dan gas, di sektor energi dan melemahnya penyerapan CO2.
Dampak krisis iklim, seperti naiknya suhu, perubahan cuaca, banjir di tengah kemarau, dan kekeringan yang intensitasnya semakin sering membawa pertanyaan besar atas keseriusan dunia memenuhi komitmen Perjanjian Paris di Prancis.
Namun, alih-alih segera beralih ke sumber energi yang lebih bersih, pemerintah baru saja mengumumkan rencana ketenagalistrikan 2025-2034 yang justru menambah kapasitas penggunaan energi fosil, dengan PLTU batu bara sebesar 6,3GW dan PLTG sebesar 10,3GW – belum termasuk penambahan di kawasan industri.
"Ini tentu mengunci kita dalam ketergantungan pada energi fosil, sementara Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang jauh lebih besar kira-kira mencapai 3.686GW. Khususnya surya (Matahari) dan angin, juga 15 persen lebih murah," kata Beyrra Triasdian, Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia.
Transformasi energi baru terbarukan tak hanya menjadi solusi untuk mengentaskan krisis iklim. Pelibatan masyarakat dalam pengembangan sumber energi yang sesuai dengan kebutuhan komunitas merupakan salah satu nilai dari transisi energi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Pemahaman atas nilai dan prinsip tersebut menjadi poin penting dalam pendidikan kritis energi bersih yang tak hanya menyoal teknologi saja. Partisipasi aktif dari sektor pendidikan memiliki peran penting dalam percepatan transformasi energi baru terbarukan yang adil dan inklusif.
Di tengah meningkatnya bencana iklim dan perubahan suhu ekstrem, pembelajaran di sekolah mampu mengaitkan antara krisis iklim dan kehidupan sehari-hari.
Karenanya, pengembangan pengetahuan terkait energi baru terbarukan dan prinsip transisi energi yang berkeadilan adalah langkah pertama agar pelajar dan kaum muda ikut mendorong transformasi energi untuk masa depan yang lebih baik.
"Gen Z adalah populasi yang paling besar dan orang muda, baik siswa SMP maupun SMA harus diberi ruang untuk mempelajari isu ini karena sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Ketika menyoal dampak krisis iklim, masyarakat marjinal yang paling rentan. Di sini, anak muda bisa ikut menyuarakan agar masyarakat bisa mendapatkan haknya untuk hidup lebih layak dan sehat," ujar Valensiya, Ketua RE-Agent.
RE-Agent bersama organisasi masyarakat sipil Trend Asia mempercayai bahwa pelajar dan kaum muda mampu membentuk masa depan yang berkelanjutan di Indonesia. Melalui pameran energi terbarukan di SMAN 3 Jakarta, “RE-Agents Goes to School” memulai pendidikan kritis energi bersih yang mengajak siswa dan sekolah mendukung langkah kecil menuju keberlanjutan.
“Pendidikan ini adalah hal yang jarang dilakukan, karenanya ia menjadi sebuah kesempatan yang harus dimaksimalkan apalagi bagi siswa SMAN 3 Jakarta, di mana kegiatan pendidikan energi baru terbarukan ini dilaksanakan, untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai transformasi energi bersih,” ujar Mukhlis, Kepala Sekolah SMAN 3 Jakarta.
Halaman Selanjutnya
Pemahaman atas nilai dan prinsip tersebut menjadi poin penting dalam pendidikan kritis energi bersih yang tak hanya menyoal teknologi saja. Partisipasi aktif dari sektor pendidikan memiliki peran penting dalam percepatan transformasi energi baru terbarukan yang adil dan inklusif.