Jakarta, VIVA – Dua negara ancang-ancang mengamankan pasokan logam tanah jarang (rare earth) akibat keputusan China mengerem ekspor bahan mineral tersebut.
Kedua negara yang dimaksud adalah Amerika Serikat (AS) dan India.
Logam tanah jarang merupakan komponen penting dalam industri teknologi tinggi seperti baterai, mobil listrik, perangkat elektronik, bahkan alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Unsur rare earth meliputi proses penambangan, peleburan, pemisahan, produksi bahan magnetik, hingga daur ulang sumber daya sekunder.
Logam tanah jarang seperti gadolinium dan dysprosium digunakan di berbagai sektor mulai dari semikonduktor dan iPhone, hingga mesin MRI dan pengobatan kanker.
Permintaannya melonjak seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi hijau yang berperan dalam menekan emisi karbon.
China mendominasi 70 persen pasokan global logam tanah jarang, yang didukung oleh strategi jangka panjang, deposit yang melimpah, dan harga yang kompetitif.
Hal ini menjadikan China pusat rantai pasok industri ini untuk produk-produk krusial. Dominasi China juga mencapai tahap manufaktur produk akhir seperti magnet permanen berbasis logam tanah jarang, di mana mereka menguasai sekitar 93 persen produksi global.
Di sisi lain, AS dan beberapa negara sangat tergantung pada pasokan unsur rare earth untuk mendukung industri pertahanan dan teknologi tingginya.
Mengutip situs Russia Today, Selasa, 14 Oktober 2025, Departemen Pertahanan AS atau Pentagon sedang berupaya keras untuk menimbun logam tanah jarang senilai sekitar US$1 miliar (Rp16.568 triliun).
Menurut laporan publik dari Badan Logistik Pertahanan AS (DLA), bahwa Washington DC telah mempercepat upayanya untuk menimbun logam tanah jarang secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Publikasi tersebut mengutip seorang mantan pejabat pertahanan anonim yang mengatakan bahwa AS "jelas mencari lebih banyak, dan mereka melakukannya dengan cara yang disengaja dan ekspansif, serta mencari sumber baru untuk berbagai bijih yang dibutuhkan untuk produk pertahanan".
Sejumlah material yang kini ingin dibeli Pentagon sebelumnya tidak ada dalam daftar keinginannya.
Financial Times melaporkan bahwa militer AS berencana membeli kobalt hingga US$500 juta (Rp8,2 triliun), antimon hingga US$245 juta (Rp4 triliun), tantalum hingga US$100 juta (Rp1,6 triliun), dan skandium hingga US$45 juta (Rp745 miliar).
Halaman Selanjutnya
"Pelaku pasar terkejut dengan volume yang diminta oleh DLA," ujar Cristina Belda dari firma konsultan Argus Media kepada FT, seraya menambahkan bahwa "banyak yang menganggap jumlah tersebut tidak realistis, terutama dalam jangka waktu lima tahun yang diusulkan".