Jakarta, VIVA – Sudah lebih dari sepekan sejak kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Arya Daru Pangayunan (39), ditemukan dalam kondisi mengenaskan dengan kepala terbungkus lakban di kamar indekosnya, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Meski waktu telah berlalu, penyebab pasti kematian Arya masih menjadi tanda tanya besar.
Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, dalam pernyataan pada Jumat, 11 Juli 2025, menyebutkan bahwa penyelidikan sedang berlangsung secara intensif dan ditargetkan selesai dalam waktu sekitar satu minggu. Ia menegaskan bahwa proses pendalaman bukti tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi, melainkan mencakup rekaman CCTV, hasil autopsi, hingga jejak digital dari ponsel dan laptop milik korban.
Ia juga menekankan bahwa semua data yang terkumpul akan dikaji secara menyeluruh sebelum kesimpulan diambil.
Diplomat muda Kementerian Luar Negeri, Arya Daru Pangayunan
Namun, dalam perkembangan terbaru, muncul dugaan publik bahwa Arya mungkin meninggal karena praktik seksual ekstrem atau perilaku menyimpang seperti autoerotic asphyxiation. Dugaan ini ramai dibicarakan di media sosial dan diskursus publik, mengingat kondisi jenazah yang tidak biasa.
Menanggapi hal ini, seksolog klinis Zoya Amirin memberikan analisisnya. Ia menyatakan bahwa sejauh ini, tanda-tanda pada tubuh korban tidak mendukung dugaan kematian akibat aktivitas seksual menyimpang.
“Kalau memang ini asphyxiation, harusnya ada tanda-tanda keterlibatan aktivitas seksual, seperti cairan tubuh, pelumas, tontonan khusus, atau bahkan alat bantu,” jelas Zoya dikutip dari tvOnenews.com Rabu, 17 Juli 2025.
Lebih lanjut, Zoya menjelaskan bahwa teknik autoerotic asphyxiation biasanya memiliki prinsip keamanan atau self-rescue, dan tidak sampai membungkus wajah sepenuhnya dengan lakban. Ia juga menekankan bahwa pelaku aktivitas tersebut biasanya menjalani proses bertahap dari ikatan-ikatan ringan hingga metode yang lebih ekstrem, bukan langsung menggunakan lakban secara menyeluruh.
“Lakban penuh itu tidak logis. Mereka mencari sensasi sesak, bukan kematian,” jelasnya. Ia bahkan mempertanyakan posisi tangan korban—apakah terikat atau tidak—karena bisa menunjukkan apakah korban melakukan tindakan itu sendiri atau ada campur tangan pihak lain.
Zoya juga menegaskan bahwa berdasarkan semua informasi yang tersedia hingga saat ini, kematian Arya tidak mencerminkan pola khas dari praktik autoerotic asphyxiation.
“Bahkan jika ini benar dilakukan sendiri, harusnya ada jejak biologis yang menunjukkan keterangsangan, tapi semua itu tidak ada. Ini tidak konsisten,” tandasnya.
Halaman Selanjutnya
Lebih lanjut, Zoya menjelaskan bahwa teknik autoerotic asphyxiation biasanya memiliki prinsip keamanan atau self-rescue, dan tidak sampai membungkus wajah sepenuhnya dengan lakban. Ia juga menekankan bahwa pelaku aktivitas tersebut biasanya menjalani proses bertahap dari ikatan-ikatan ringan hingga metode yang lebih ekstrem, bukan langsung menggunakan lakban secara menyeluruh.